Rabu, 19 Juni 2013

insto moist atasi mata merah

nsto moist atasi mata merah  



Pernakah kawan mengalami yang namanya iritasi mata, mata merah? ?...
kebanyakan dari kawan-kawan pasti menjawab “ ya”.
apa yang kawan lakukan untuk meng-atasi hal tersebut??
mungkin jawabnya ada di artikel kali mengenai insto moist ini.. mari di simak bersama insto moist atasi mata merah :D
iritasi mata biasanya dialami oleh kawan-kawan yang bekerja dilapangan, saat berkendara di jalan ataupun saat melakukan aktivitas outdoor lainnya. Debu kotoran yang bertebaran di udara dengan mudahnya akan masuk ke dalam mata tanpa kita sadari. Nah, biasanya secara reflex kita akan mengucek mata untuk membersihkan debu yang masuk. Dari situlah awal mulanya iritasi mata terjadi. Hal ini biasanya di tandai dengan mata merah di sertai rasa gatal di mata akibat mengucek mata dengan sembarangan , tanpa memperdulikan kebersihan tangan. Tidak hanya itu bagi kawan-kawan yang sering duduk di depan monitor berjam-jam lamanya juga berpotensi mengalami iritasi mata. Menatap layar monitor berjam-jam akan membuat mata kita menjadi lelah dan terasa panas akibat radiasi layar monitor dan frekwensi berkedip mata yang berkurang karena mata yang terlalu focus pada monitor. Selain kedua hal tersebut , iritasi mata juga kerap di alami oleh seseorang yang memakai lensa kontak ( contact lenses ). Kebanyakan Iritasi ini timbul akibat kurangnya perawatan lensa kontak atau ketidakcocokan mata terhadap bahan – bahan kimia yang terkandung dalam kontak lensa. Namun tak perlu khawatir karena ada  INSTO MOIST ATASI MATA MERAH

Dewasa ini, Tidak sedikit orang yang sering lalai dalam memperhatikan kesehatan matanya padahal mata merupakan salah satu organ tubuh kita yang paling sensitif. Kebanyakan orang biasanya akan menganggap remeh apabila matanya kemasukan debu, mengalami irtasi ataupun mata merah. padahal jika tidak segera ditangani mungkin saja efek yang lebih besar akan timbul dikemudian hari seperti timbulnya penyakit mata. Hal ini dikarenakan minimnya pengetahuan kita tentang kesehatan mata. 
 
Kesibukan kita sehari-hari menjadikan kita harus cepat tanggap dan efisien untuk memanfaatkan sedikitnya waktu yang ada untuk memperhatikan kesehatan mata. Oleh karena itu apabila mata kita merasa tidak nyaman, mata merah atau iritasi karena debu jangan menganggap remeh dan disarankan agar segera memeriksakannya ke dokter. Selain itu ada alternative lain yang bisa kita lakukan seperti melakukan tindakan pencegahan dan pengobatan awal mata, yaitu dengan menggunakan obat tetes mata. Untuk itu, tentunya kita harus selektif dalam memilih obat tetes mata yang sesuai dan baik bagi kesehatan mata.

Nah, berikut saya sajikan ulasan mengenai apa itu obat mata dan seperti apakah obat mata yang baik bagi kesehatan. 
 
Obat tetes mata (guttae ophthalmicae) adalah suatu sediaan steril berupa larutan atau suspensi yang digunakan untuk terapi atau pengobatan mata dengan cara meneteskan obat pada selaput lendir mata di sekitar kelopak dan bola mata. Dengan maksud untuk memudahkan penggunaan, hanya dengan meneteskan saja serta untuk efek lokal, misalnya peradangan pada konjungtiva mata. Obat tetes mata yang ideal harus memperhatikan beberapa hal yaitu bersifat steril, terutama yang ditujukan untuk mata yang sakit, luka, atau setelah operasi, tetes mata yang berupa larutan haruslah jernih, dan tetes mata yang berupa suspensi, bahan yang tidak larut haruslah sangat halus, hal ini dimaksudkan untuk mengurangi rangsangan terhadap mata sehingga air mata tidak banyak keluar.

Obat tetes mata hendaknya mengandung obat dengan efek terapi: antiperadangan, antimikroba, miotik (menyempitkan pupil mata), midriatika (melebarkan pupil mata), dan anestesi (bius) lokal, serta dapat digunakan untuk diagnosis. PT Sterling Product Indonesia sebagai pengelola produk obat tetes mata unggulan "Insto Moist" sebagai bentuk kepedulian Insto terhadap kesehatan mata. Obat tetes mata Insto Moist yang memberikan kesejukan pada mata anda dan membantu mengurangi mata merah dan lelah. 
 
Dari uraian diatas, kita ketahuai bahwasanya obat mata yang baik haruslah memiliki kretiria – kriteria standar seperti layaknya obat tetes mata insto moist. Tentunya kawan – kawan telah mengenal baik obat tetes mata insto sebagai salah satu pelopor obat mata terpercaya. Dengan bentuk kemasan yang mini, mudah dibawa serta praktis untuk digunakan. sangat cocok untuk digunakan sebagai sediaan obat tetes mata untuk menemani aktivitas kawan – kawan sehari –hari. Jangan sampai momen berharga anda lewat akibat mata merah untuk itu selalu sedia insto moistdimana saja dan kapan saja.

Nah, sekian dulu postingan infodejava kali ini mengenai iritasi mata dan cara penanganannya dengan insto moist atasi mata merah.

Minyak Jarak (Castor Oil/ Oleum Ricini)

Product Specification Minyak Jarak (Castor Oil/ Oleum Ricini)


Price Per 1000Ml

Minyak Jarak Adalah Minyak Nabati Yang Diperoleh Dari Ekstraksi Biji Tanaman Jarak (Ricinus Communis). Dalam Bidang Farmasi Dikenal Pula Sebagai Minyak Kastroli.
Minyak Ini Serba Guna Dan Memiliki Karakter Yang Khas Secara Fisik. Pada Suhu Ruang Minyak Jarak Berfasa Cair Dan Tetap Stabil Pada Suhu Rendah Maupun Suhu Sangat Tinggi. Minyak Jarak Diproduksi Secara Alami Dan Merupakan Trigliserida Yang Mengadung 90% Asam Ricinoleat. Minyak Jarak Juga Merupakan Sumber Utama Asam Sebasat, Suatu Asam Dikarboksilat.
Pemanfaatan Minyak Jarak Dan Turunannya (Derivat) Sangat Luas Dalam Berbagai Industri: Sabun, Pelumas, Minyak Rem Dan Hidraulik, Cat, Pewarna, Plastik Tahan Dingin, Pelindung (Coating), Tinta, Malam Dan Semir, Nilon, Farmasi (1% Dari Total Produk Dunia), Dan Parfum.
Racun Ricin Merupakan Produk Sampingan Dari Proses Pengolahan Minyak Jarak.
Sebagai Bahan Farmasi, Minyak Jarak Atau Minyak Kastroli (Nama Yang Redundan!) Digunakan Untuk Menetralisasi Rasa Kembung (Konstipasi) Dan Merangsang Pemuntahan. Konsumsi Tinggi (Di Bawah Dosis Letal) Minyak Ini Pada Perempuan Yang Siap Melahirkan Dapat Menginduksi Persalinan.
Minyak Jarak Juga Memiliki Sejarah Kelam Dalam Bidang Politik Karena Digunakan Oleh Rezim Fasis Italia Yang Dipimpin Diktator Benito Mussolini Untuk Menyiksa Penentang-Penentangnya Di Era Perang Dunia Ii.
Http://Id.Wikipedia.Org/Wiki/Minyak_Jarak

Company Information Eteris Nusantara

Company Name:Eteris Nusantara
Company Details:
Mobile:
Address :Dusun Playen, Kecamatan Playen Wonosari, Yogyakarta Yogyakarta
Yogyakarta , Indonesia
Phone :
Fax :
Click To Chat Via Yahoo Messenger  
Year Of Establishment:2011
We Sell:
Number Of Employee/s:5
About:We Sell Pure Essensial Oil Undilted As Parfume, Aromateraphy, And Etc. Available:

Minyak Adas (Feuniculli Oil/ Fennel Oil)

Minyak Ajwain/ Minyak Jinten Ajowan (Ajowan Ajwan Oil)

Minyak Akar Wangi (Vetiver Oil)

Minyak Akasia (Cassia Oil)

Minyak Allspice (Allspice Oil)

Minyak Alpukat (Avacado Oil)

Minyak Amyris (Amyris Oil)

Minyak Angelica, Akar (Angelica Root Oil)

Minyak Angsana/ Minyak Sonokeling ( Rosewood Oil)

Minyak Anisi (Anise Oil)

Minyak Aprikot (Apricot Oil)

Minyak Armoise (Armoise Oil)

Minyak Badam/ Minyak Almond (Almond Oil)

Minyak Balsam Peru (Balsam Peru Oil)

Minyak Betula (Birch Tar Oil)

Minyak Bois De Rose (Bois De Rose Oil)

Minyak Borage (Borage Oil)

Minyak Bulus

Minyak Bunga Matahari, Biji (Sunflower Oil)

Minyak Cade, Rectified (Cade Oil Rectified)

Minyak Calendula (Calendula Oil)

Minyak Cedarwood Atlas (Cedarwood Oil, Atlas)

Minyak Cedarwood Himalaya (Cedarwood Oil, Himalayan)

Minyak Cedarwood Virginia (Cedarwood Oil, Virginia)

Minyak Cendana Kupang (Kupang Sandalwood Oil)

Minyak Cendana Papua (Papua Sandalwood Amyris)

Minyak Cengkeh (Clove Bud Oil)

Minyak Cengkeh, Daun (Clove Leaf Oil)

Minyak Cengkeh, Gagang (Clove Stem Oil)

Minyak Chamomile (Chamomile Blue Oil)

Minyak Chamomile Jerman (Chamomile Blue Oil, German)

Minyak Chamomile Roman (Chamomile Blue Oil, Roman)

Minyak Cistus Labdanum/ Minyak Getah Rockrose ( Cistus Labdanum Oil)

Minyak Clary Sage (Clary Sage Oil)

Minyak Coklat (Cacao Oil)

Minyak Copaiba Balsam (Copaiba Balsam Oil)

Minyak Eukaliptus, Globulus (Eucalyptus Globulus Oil)

Minyak Eukaliptus, Radiata (Eucalyptus Radiata Oil)

Minyak Eukaliptus/ Eucaliptus Oil

Minyak Evening Primrose (Evening Primrose Oil

Minyak Flax (Lin Seed Oil)

Minyak Fuli Pala (Mace Oil)

Minyak Gandapura (Wintergreen Oil)

Minyak Gandum (Wheat Germ Oil)

Minyak Geranium (Geranium Oil)

Minyak Geranium Rose (Geranium Rose Oil)

Minyak Helichrysum (Helichrysum Oil)

Minyak Hyssop (Hyssop Oil)

Minyak Jahe (Ginger Oil)

Minyak Jarak (Castor Oil/ Oleum Ricini)

Minyak Jeruk (Orange Oil)

Minyak Jeruk Bergamot (Bergamot Oil)

Minyak Jeruk Grapefruite (Grapefruite Oil)

Minyak Jeruk Lemon (Lemon Oil)

Minyak Jeruk Manis (Orange Oil, Sweet)

Minyak Jeruk Nipis (Lime Oil)

Minyak Jeruk Purut, Daun (Kaffir Lime Oil)

Minyak Jintan Hitam/ Black Cummin Oil (Habatusaudah)

Minyak Jojoba (Jojoba Oil) Minyak Jojoba (Jojoba Oil) Minyak Jojoba, Colorless (Jojoba Oil, Colorless)

Minyak Jojoba, Golden (Jojoba Oil, Golden)

Minyak Juniper Berry (Juniper Berry Oil)

Minyak Kacang Tanah (Arachis Oil)

Minyak Kampora/ Minyak Kanfer (Camphor Oil)

Minyak Kapulaga (Cardamom Oil)

Minyak Kayu Manis (Cinnamon Bark Oil)

Minyak Kayu Manis (Cinnamon Oil)

Minyak Kayu Manis, Daun (Cinnamon Leaf Oil)

Minyak Kayu Putih (Cajeput Oil)

Minyak Kelapa Murni (Virgin Coconut Oil)

Minyak Kemangi, Holy (Basil Holy Oil)

Minyak Kemangi, Sweet (Basil Sweet Oil)

Minyak Kemenyan (Frankincense Oil)

Minyak Kemenyan Absolut (Benzoin Absolut Oil)

Minyak Kemiri (Hazel Nut Oil)

Minyak Kemukus (Cubeb Oil)

Minyak Kenanga (Cananga Oil)

Minyak Kenari (Walnut Oil)

Minyak Kenikir (Tagetes Oil)

Minyak Ketumbar (Coriander Oil)

Minyak Kewalotan (Bursera Oil)

Minyak Kilemo (Litsea Cubeba Oil)

Minyak Kopi (Coffee Oil)

Minyak Kunyit (Turmeric Ol)

Minyak Lada Hitam (Black Pepper Oil)

Minyak Lavender (Lavender Oil)

Minyak Lavender Himalaya (Lavender Himalayan Oil)

Minyak Malar Hijau (Fir Needle Oil)

Minyak Marjoram (Marjoram Oil)

Minyak Mawar, Absolut (Rose Absolute Oil)

Minyak Mawar, Damascena (Rose Damascena Oil)

Minyak Melati Absolut, Sambac (Jasmine Absolute Oil, Sambac)

Minyak Mentimun (Cucumber Oil)

Minyak Mesoyi (Massoi Bark Oil)

Minyak Mimba (Neem Oil)

Minyak Mint/ Minyak Pepermin (Peppermint Oil)

Minyak Mur/ Minyak Getah Wangi (Myrrh Oil)

Minyak Neroli (Neroli Oil)

Minyak Niaouli (Niaouli Oil)

Minyak Nilam (Patchouli Oil)

Minyak Oregano (Oregano Oil)

Minyak Pala (Nutmerg Oil)

Minyak Palmarosa (Palmarosa Oil)

Minyak Pinus (Pine Oil)

Minyak Pinus Jarum (Pine Needle Oil)

Minyak Putri Malu Absolut (Mimosa Absolute Oil)

Minyak Ravensara (Ravensara Oil)

Minyak Rosemary (Rosemary Oil)

Minyak Salam (Bay Laurel Oil)

Minyak Sereh Dapur/ Minyak Sere Dapur ( Lemongrass Oil)

Minyak Sereh Wangi/ Minyak Sere Wangi (Citronella Oil)

Minyak Sirih (Piper Betle Oil)

Minyak Spearmint (Spearmint Oil)

Minyak Strawbery (Strawberry Oil)

Minyak Tea Tree (Tea Tree Oil)

Minyak Temulawak (Curcuma Xanthoriza Oil)

Minyak Vanili (Vanili Oil)

Minyak Wijen (Sesame Oil)

Minyak Wortel, Biji (Carrot Seed Oil)

Minyak Yarrow (Yarrow Oil)

Minyak Ylang-Ylang (Ylang-Ylang Oil)

Minyak Zaitun (Olive Oil)

Minyak Zodia (Zodia Oil)
Www.Eterisnusantara.Co.Id
Eterisnusantara@Yahoo.Com
02743009181
085729611636 (Mobile)
Cs: 9246001 (Hanya Melalui Sms)

UJI AKTIVITAS ANTIOKSIDAN KOMBINASI EKSTRAK SARANG SEMUT (Myrmecodia pendans) & EKSTRAK TEH HITAM (Camellia sinensis O.K.var.assamica (mast.)) DENGAN METODE DPPH (1,1-difenil-2-pikrilhidrazil)

UJI AKTIVITAS ANTIOKSIDAN KOMBINASI EKSTRAK SARANG SEMUT (Myrmecodia pendans) & EKSTRAK TEH HITAM (Camellia sinensis O.K.var.assamica (mast.)) DENGAN METODE DPPH (1,1-difenil-2-pikrilhidrazil)

Antioksidan merupakan senyawa yang pada konsentrasi rendah mampu mencegah atau memperlambat reaksi oksidasi yang disebabkan oleh radikal bebas. Sarang semut (Myrmecodia pendans) dan teh hitam (Camellia sinensis O.K.var.assamica (mast.)) merupakan tanaman yang mempunyai kandungan senyawa-senyawa aktif yang berperan sebagai antioksidan. Penarikan senyawa-senyawa aktif dari sarang semut dilakukan dengan proses ekstraksi metode soxhletasi dengan menggunakan pelarut etanol. Sedangkan penarikan senyawa-senyawa aktif dari teh hitam dilakukan dengan proses ekstraksi metode digesti menggunakan pelarut air.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya aktivitas antioksidan kombinasi ekstrak sarang semut dengan ekstrak teh hitam terhadap radikal bebas DPPH (1,1-difenil- 2-pikrilhidrazil). Kombinasi ekstrak sarang semut dengan ekstrak teh hitam dibuat dengan perbandingan 1:0; 2:1; 1:1; 1:2; dan 0:1 kemudian diencerkan dengan pelarut etanol 60% hingga diperoleh konsentrasi larutan uji 0,1%. Dari larutan tersebut dibuat deret konsentrasi 0,01%; 0,02%; 0,03%; 0,04%; dan 0,05% dan diuji aktivitas antioksidannya dengan metode DPPH secara spektrofotometri Vis, hingga diperoleh nilai EC50.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai EC50 untuk ekstrak sarang semut murni perbandingan 1:0 sebesar 3,6830 μg/ml, nilai EC50 untuk ekstrak teh hitam murni perbandingan 0:1 sebesar 8,1720 μg/ml, nilai EC50 untuk kombinasi ekstrak sarang semut dengan ekstrak teh hitam perbandingan 2:1 sebesar 2,6443 μg/ml, perbandingan 1:1 sebesar 2,3925 μg/ml dan perbandingan 1:2 sebesar 3,6132 μg/ml. Sehingga dapat disimpulkan ekstrak sarang semut yang dikombinasi teh hitam dengan perbandingan 1:1 memiliki aktivitas antioksidan terbesar. Hasil uji anava menunjukkan ada perbedaan yang signifikan aktivitas antioksidan antara ekstrak sarang semut murni, ekstrak teh hitam murni dan kombinasi ekstrak sarang semut dengan ekstrak teh hitam.
Kata kunci Sarang semut, teh hitam, aktivitas antioksidan, DPPH, EC50
Author(s

Selasa, 18 Juni 2013

sediaan cair dan semi padat tentang sirup

SIRUP 
Adalah : sediaan pekat dalam air dari gula atau pengganti gula dengan atau tanpa penambahan bahan pewangi dan atau zat obat 
Sirup pembawa bukan obat : sirup mengandung bahan pemberi rasa namun tidak mengandung obat contoh sirup akasia, sirup coklat, sirup cerri. 
Komponen sirup… 
Komponen selain air dan obat :
Gula, biasanya sukrosa atau pengganti gula untuk memberi rasa manis dan kental 
Pengawet antimikroba 
Pembau 
Pewarna 
sukrosa 
Sirup mengandung 60 – 80% sukrosa sebagai pemanis, pengental dan menjaga stabilitas 
Larutan gula pekat resisten terhadap pertumbuhan mikroorganisme contoh sirup sederhana 85 g sukrosa dalam air untuk membuat 100 ml sirup (NF)
Kelarutan sukrosa dalam air 1 gram dalam 0,5 ml air. 
Pengawet antimikroba 
Jumlah tergantung banyaknya air, sifat dan aktifitas bahan formulasi.
Contoh : 
Asam benzoat ( 0,1-0,2%)
Natrium benzoat (0,1-0,2%)
Campuran metil,etil,propil paraben (total ± 0,1%) 
Pemberi rasa 
Contohnya minyak jeruk, vanili 
Karena sirup larut air, pemberi rasa harus larut dalam air, namun tekadang sejumlah akohol ditambahkan untuk menjamin kelangsungan kelarutan zat tersebut. 
Pemberi warna 
Untuk daya tarik disesuaikan dengan pemberi rasa yang digunakan, contoh : pewarna hijau untuk permen, coklat untuk rasa coklat 
Pewarna yang digunakan umumnya larut dalam air, warna stabil pada kisaran PH dan di bawah cahaya yang intensif sirup mungkin menjadi enounter selama peyimpanan. 
PEMBUATAN SIRUP 
Pembuatan sirup secara umum :
1. Larutan dari bahan dengan bantuan panas 
2. Larutan dari bahan dengan pengadukan tanpa panas 
3. Penambahan sukrosa pada cairan obat yang dibuat atau pada cairan yang diberi rasa
4. Dengan perkolasi dari sumber bahan obat atau sukrosa 
ELIKSIR 
Adalah : larutan hidroalkohol yang jernih dan manis dimaksudkan untuk penggunaan vital, dan biasanya diberi arsa untuk menambah kelezatan.
Eliksir bukan obat sebagai pembawa, eliksir obat untuk efek terapidari senyawa obat yang dikandungnya 
Eiksir memiliki sifat hidroalkohol lebih mampu mempertahankan komponen larutan yang larut dalam air dan larut dalam alkohol 
Eliksir mengandung zat yang kelarutannya dalam air jelek 
Disamping alkohol dan air pelarut lain yang digunakan seperti gliserin, propilenglikol sebagai pelarut pembantu.
Eliksir yang mengandung alkohol lebih dari 10-12 % bersifat sebagai pengawet sendiri 
Pembuatan eliksir 
Eliksir dibuat dengan larutan sederhana dengan pengadukan atau dengan pencampuran dua atau lebih bahan-bahan cair.
Komponen larut air dan alkohol dilarutkan terpisah 
Gliserin, sirup,sorbitol mampu menambah efek pelarut dari pembawa hidroalkohol, membantu kelarutan zat, meningkatkan stabilitas sediaan, namun bahan tersebut mampu menambah kekentalan 
Eliksir bukan obat 
Meliputi penambah zat obat untuk pembawa yang memberi rasa enak dan pengencer eliksir obat yang ada 
Contohnya : eliksir aromatik, eliksir benzaldehid campuran, eliksir iso alkohol. 
Eliksir obat 
Digunakan untuk tujuan pengobatan dari zat yang ada 
Contohnya :
Eliksir antihistamin 
Eliksir hipnotik sedatif barbiturat 
Eliksir digoksin

EFEK ANALGETIK EKSTRAK ETANOL DAUN SAMBUNG NYAWA (Gynura procumbens Merrill) PADA MENCIT PUTIH JANTAN GALUR DDY DENGAN METODE GELIAT DAN RANGSANG PANAS

EFEK ANALGETIK EKSTRAK ETANOL DAUN SAMBUNG NYAWA
(Gynura procumbens Merrill) PADA MENCIT PUTIH JANTAN
GALUR DDY DENGAN METODE GELIAT DAN RANGSANG PANAS
E. Mulyati Effendi, Hera MAheshwari, Dyah Puji Utami Putri
Program Studi Farmasi FMIPA-UNPAK
ABSTRAK
Bentuk sediaan yang digunakan dalam beberapa penelitian sambung
nyawa adalah infusa. Oleh karena itu penelitian ini dimaksudkan untuk membuat
sediaan dalam bentuk ekstrak, dan diharapkan zat aktif yang dibutuhkan sebagai
analgetik dapat terlarut dalam penyari sehingga meningkatkan efek analgetik dari
daun sambung nyawa. Penelitian dilakukan terhadap 48 ekor mencit putih jantan
galur ddy yang dikelompokkan menjadi enam kelompok perlakuan dengan dua
metode yaitu metode geliat yang diinduksi nyeri oleh asam asetat 0.5 % dosis 50
mg/kg BB dan rangsang panas yang diinduksi oleh Hot Plate pada suhu
30OC ± 1 OC. Kelompok I adalah kelompok kontrol negative akuades 20 ml/kg
BB, kelompok II adalah kelompok kontrol positif suspensi asam mefenamat 0.5 %
dosis 65 mg/kg BB (metode geliat) dan suspensi tramadol 0.4578 %. dengan dosis
6.5 mg/kgBB (metode rangsang panas), kelompok II, III, IV, V, VI diberi
perlakuan ekstrak kental daun sambung nyawa dengan dosis 0.83, 1.67, 2.5, 3.33
g/kg BB. Pengamatan terhadap metode geliat adalah kumulatif geliat tubuh mencit
selama 60 menit, dan untuk metode rangsang panas adalah kumulatif jilatan kaki
depan atau belakang selama 1 menit. Hasil yang diperoleh dari kedua metode
dianalisa dengan ANOVA metode RAL dilanjutkan dengan Uji Duncan. Pada
metode geliat dengan dosis 0.83 g/kg BB, 1.67 g/kg BB, 2.5 g/kg BB dan 3.33
g/kg BB secara statistik memiliki efek analgetik yang sama dengan asam
mefenamat adalah dosis 3.33 g/kg BB sedangkan pada metode rangsang panas
secara statistik ekstrak etanol daun sambung nyawa tidak memiliki pen garuh yang
nyata untuk menghasilkan efek analgetik kuat.
Kata kunci : efek analgetik, daun sambung nyawa, mencit
PENDAHULUAN
Pengembangan obat asli di Indonesia
memiliki potensi yang baik karena
bahan baku berupa kekayaan flora,
fauna dan mineral yang tersedia
cukup melimpah. Salah satu
kekayaan flora Indonesia adalah
sambung nyawa (Gynura
procumbens Merril) yang telah
dikenal oleh masyarakat sebagai
antipiretik. Menurut Pudjiastuti dan
Hendarti
(1999) infusa daun sambung nyawa
berkhasiat sebagai antipiretik dan
analgetik pada marmot dengan dosis
40 mg/kg BB. Bentuk sediaan yang
digunakan dalam beberapa penelitian
sambung nyawa adalh infusa. Oleh
karena itu penelitian ini
dimaksudkan untuk membuat
sediaan dalam bentuk ekstrak dan
diharapkan zat aktif yang dibutuhkan
sebagai analgetik dapat terlarutdalam penyari sehingga
meningkatkan efek analgetik dari
daun sambung nyawa.
Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui efek
analgetik ekstrak etanol daun
sambung nyawapada mencit putih
jantan, dan untuk mengetahui
golongan analgetik daun sambung
nyawa dengan metode geliat dan
rangsang panas.
Dari uraian di atas dapat
diambil hipotesis bahwa pemberian
dosis bertingkat ekstrak etanol daun
sambung nyawa berpengaruh sebagai
analgetik pada mencit dan pemberian
ekstrak etanol daun sambung nyawa
memperlihatkan salah satu golongan
analgetik.
Sambung nyawa sering
disebut daun dewa, atau sebaliknya.
Namun umbi diterima sebagai
penciri utama antara sambung nyawa
dengan daun dewa. Sambung nyawa
adalah daun dewa tidak berumbi,
sedangkan daun dewa adalah
sambung nyawa berumbi
(Winarto,2003). Menurut Materia
Medika Indonesia jilid V (1989)
daun sambung nyawa adalah daun
Gynura procumbens Merrill, suku
Compositae.
Nyeri merupakan gejala
penyakit atau kerusakan yang paling
sering terjadi. Nyeri menurut tempat
terjadinya dibagi atas nyeri somatik
dan nyeri viseral. Nyeri somatiK
dibagi lagi menjadi dua kualitas yaitu
nyeri permukaan dan nyeri dalam,
apabila rangsang bertempat dalam
kulit maka rasa nyeri yang terjadi
disebut nyeri permukaan, sedangkan
apabila rangsang bertempat pada
otot, persendian, tulang dan jaringan
ikat disebut nyeri dalam.
Rasa nyeri menurut
kualitasnya dibagi menjadi dua yaitu
nyeri cepat dan nyeri lambat. Bila
nyeri timbul setelah 0.1 detik
pemberian stimulus maka nyeri ini
disebut nyeri cepat, sedangkan jika
nyeri timbul dalam waktu lebih dari
0.1 detik setelah pemberian stimulus
maka nyeri ini disebut nyeri lambat
(Guyton dan Hall,1997).
Analgetik adalah senyawa
yang dalam dosis terapuetik
meringankan atau menekan rasa
nyeri, tanpa memiliki kerja anestesi
umum (Mutschler, 1991).
Berdasarkan potensi kerja,
mekanisme kerja dan efek samping
analgetik dibedakan dalam dua
kelompok (Mutschler, 1991; Tan dan
Rahardja, 1991) yaitu: analgetik
yang berkhasiat kuat, bekerja pada
pusat (hipnoanalgetik, kelompok
opiat) dan analgetik yang berkhasiat
lemah sampai sedang, bekerja
terutama pada perifer dengan sifat
antipiretika dan kebanyakan juga
mempunyai sifat antiinflamasi dan
antireumatik.
Simplisia adalah bahan
alamiah yang dipergunakan sebagai
obat yang belum mengalami
pengolahan apapun juga dan kecuali
dinyatakan lain simplisia merupakan
bahan yang dikeringkan (Depkes RI,
1985).Maserasi merupakan cara
penyarian sederhana dengan
merendam serbuk simplisia dalam
cairan penyari (Depkes RI, 1986).
Ekstrak adalah sediaan pekat
yang diperoleh dengan
mengekstraksi zat aktif dari simplisia
nabati atau simplisia hewani
menggunakan pelarut yang sesuai,
kemudian semua atau hampir semua
pelarut diuapkan dan massa atau
serbuk yang tersisa diperlakukan
sedemikian sehingga memenuhi baku
yang telah ditetapkan (DepKes
RI,1995).
Selain itu daun sambung
nyawa telah diteliti sebagai
penghambat proses angiogenesis
dengan metode choriallantoic chick
embryo (CAM) dan kornea mata
tikus (Mulyadi, 1989 ;
Puspitasari,dkk, 2003). Kemudian
penelitian-penelitian tentang daun
sambung nyawa telah banyak
dilakukan sebagai analgesic,
antipiretik, antiinflamasi di ginjal,
dan sebagai antidiabetes (Nugroho
dkk, 1997)
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini menggunakan
daun sambung nyawa (Gynura
procumbens Merrill) yang diperoleh
dari BALITTRO (bagian daun yang
digunakan adalah daun tua), mencit
putih jantan galur ddy berat 18-22 g
sebanyak 54 ekor, asam mefenamat,
tramadol kapsul yang mengandung
tramadol 50 mg tramadol, asam
asetat glacial, akuades, etanol 70 %.
Alat-alat yang digunakan
meliputi sonde, alat suntik, jam,
stopwatch, timbangan analitik,
timbangan mencit, rangkaian hot
plate, serta alat-alat gelas yang lazim
digunakan di laboratorium.
Tahapan Kerja
1. Uji pendahuluan asam asetat
dilakukan untuk menetapkan
kriteria geliat dengan
karakteristik tubuh mencit yang
mengempiskan perutnya dan
menarik dua kaki belakangnya
sehingga badannya terlihat
memanjang. Konsentrasi asam
asetat yang diuji adalah 0.5 %
dan 0.25 % dengan dosis 50
mg/kg masing-masing 3 ekor
mencit. Geliat dihitung setiap 5
menit selama 60 menit.
2. Uji pendahuluan dosis ekstrak
yang diberikan pada 2 ekor
mencit untuk setiap dosis yaitu
2.5, 5, 7.5, 10 g/kg BB selama
60 menit.
3. Uji daya analgetik ekstrak
dibagi menjadi dua:
A. Analgetik lemah
Pengujian dilakukan dengan metode
geliat dimana mencit dikelompokkan
secara acak dalam 6 kelompok yaitu
1. Kelompok kontrol negatif, 4 ekor
mencit diberi akuades dengan
dosis 20 mL/kg BB.
2. Kelompok kontrol positif, 4 ekor
mencit diberi suspensi asam
mefenamat 65 mg/kg BB
dengan pensuspensi tween 80 0.1
%.
3. Kelompok Uji I, 4 ekor mencit
diberi ekstrak daun sambung
nyawa dosis 0.83 g/kg BB.
4. Kelompok Uji II, 4 ekor mencit
diberi ekstrak daun sambung
nyawa dosis 1.67 g/kg BB.
5. Kelompok Uji III, 4 ekor mencit
diberi ekstrak daun sambung
nyawa dosis 2.5 g/kg BB.
6. Kelompok Uji IV, 4 ekor mencit
diberi ekstrak daun sambung
nyawa dosis 3.33 g/kg BB.Sebelum diperlakukan mencit,
diadaptasikan pada tempat dan
kondisi yang sama sekurangkurangnya 3 minggu. Setelah melalui
proses adaptasi, mencit dipersiapkan
untuk digunakan dengan
mempuasakan kurang lebih 12 jam.
Mencit diberi penimbul rasa nyeri
secara intraperitoneal, setelah itu 15
menit kemudian diberi perlakuan
dosis tunggal peroral. Jumlah
kumulatif geliat selama 60 menit
dihitung untuk metode geliat.
B. Analgetik kuat
Pengujian dilakukan dengan metode
rangsang panas dimana mencit
dikelompokkan secara acak menjadi
6 kelompok yaitu :
1. Kelompok kontrol negatif, 4 ekor
mencit diberi akuades dengan
dosis 20 mL/kg BB.
2. Kelompok kontrol positif, 4 ekor
mencit diberi larutan tramadol
dosis 6.5 mg/kg BB.
3. Kelompok Uji I, 4 ekor mencit
diberi ekstrak etanol daun
sambung nyawa dosis 0.83 g/kg
BB.
4. Kelompok Uji II, 4 ekor mencit
diberi ekstrak etanol daun
sambung nyawa dosis 1.67 g/kg
BB.
5. Kelompok Uji III, 4 ekor mencit
diberi ekstrak etanol daun
sambung nyawa dosis 2.5 g/kg
BB.
6. Kelompok Uji IV, 4 ekor mencit
diberi ekstrak etanol daun
sambung nyawa dosis 3.33 g/kg
BB.
Sebelum diperlakukan mencit,
diadaptasikan pada tempat dan
kondisi yang sama sekurangkurangnya 3 minggu. Setelah melalui
proses adaptasi, mencit dipersiapkan
untuk digunakan dengan
mempuasakan kurang lebih 12 jam.
Lalu disiapkan lempeng panas
dengan suhu 30oC, 15 menit
kemudian diberi perlakuan dosis
tunggal peroral. Reaksi menjilat kaki
belakang atau depan mencit dihitung
selama 60 detik (sebagai cut off time)
untuk metode rangsang panas.
Parameter yang diamati
dalam penelitian ini adalah 1. Jumlah
kumulatif geliat mencit dari semua
kelompok perlakuan dicatat sebagai
data yang dihasilkan untuk metode
geliat. 2. Jumlah reaksi menjilat kaki
depan atau belakang dalam detik dari
semua kelompok perlakuan dicatat
sebagai data yang dihasilkan untuk
metode rangsang panas.
Rancangan Percobaan
Analisa data mengenai
efektivitas ekstrak etanol daun
sambung nyawa terhadap rangsangan
nyeri dilakukan dengan cara statistik
menggunakan analisis variasi
(ANOVA) metode Rancangan Acak
Lengkap (RAL) (Steel dan Torrie,
1991).
a.) Faktor perlakuan pemberian
ekstrak daun sambung nyawa
dengan metode geliat. 5 g/kg
BB.
A1 : Kontrol negatif akuades
dengan dosis 20 mL/kg BB.
A2 : Kontrol positif suspensi
asam mefenamat dosis 65 mg/kg
BB.
A3 : Dosis ekstrak daun sambung
nyawa 0.83 g/ kg BB.
A4 : Dosis ekstrak daun sambung
nyawa 1.67 g/kg BB.
A5 : Dosis ekstrak daun sambung
nyawa 2.5 g/ kg BB.
A6 : Dosis ekstrak daun sambung
nyawa 3.33 g/kg BB.b.) Faktor perlakuan pemberian
ekstrak daun sambung nyawa
dengan metode rangsang
panas.
B1 : Kontrol negatif akuades
dengan dosis 20 mL/kg BB.
B2 : Kontrol positif suspensi
tramadol dosis 6.5 mg/kg BB.
B3 : Dosis ekstrak daun sambung
nyawa 0.83 g/ kg BB.
B4 : Dosis ekstrak daun sambung
nyawa 1.67 g/kg BB.
B5 : Dosis ekstrak daun sambung
nyawa 2.5 g/kg BB.
B6 : Dosis ekstrak daun sambung
nyawa 3.33 g/kg BB.
Bila uji F menunjukkan
adanya perbedaan yang nyata (P <
0.05) maka untuk melihat adanya
perbedaan antar perlakuan dilakukan
uji lanjut dengan uji Duncan.
Model matematis :
Yij = μ + ti + eij
Keterangan :
Yij : Renspon terhadap
perlakuan faktor ke i dan
faktor ke j pada ulangan
ke-k.
μ : Rata-rata respon/umum.
ti : Efek dari pengaruh faktor
perlakuan pada taraf ke i.
eij : Pengaruh faktor random
terhadap perlakuan ke i
pada kelompok ke j.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari hasil uji pendahuluan
asam asetat diperoleh jumlah geliat
terbanyak adalah asam asetat dengan
konsentrasi 0.5 %, sedangkan hasil
uji pendahuluan pada dosis ekstrak
didapatkan mencit mati pada dosis
7.5 dan 10 g/kg BB sehingga dosis
diturunkan sebanyak 1/3 kalinya.
Dan berikut adalah hasil pengamatan
uji daya analgetik.
A. Uji Daya Analgetik
Hasil pengamatan yang
diperoleh pada metode geliat ini
adalah jumlah reaksi geliat tubuh
mencit dalam waktu 1 jam. Jumlah
geliat mencit pada masing-masing
perlakuan disajikan dalam Tabel 3.
Tabel 3. Jumlah geliat pada
masing-masing perlakuan selama 1
jam
Perlakuan Ulangan Jumlah
Geliat
Rata-
1 2 3 4 rata
Akuades
20 ml/kg
BB
(K-)
173 160 177 187 697 174.3
bcde
Asam
Mefenamat
65 mg/kg
BB
(K+)
110 55 119 45 329 82.25
b
0.83 g/kg
BB
(A1)
134 145 134 144 529 132.2
5
bcd
1.67 g/kg
BB
(A2)
104 101 158 121 488 122bcd
2.5 g/kg BB
(A3) 92 100 56 127 375 93.75bc
3.33 g/kg
BB
(A4)
50 49 40 36 175 43.75a
Keterangan : Huruf superkrip yang
sama pada kolom yang sama
menunjukkan pengaruh yang tidak
beda nyata (P>0.05)
Pada Tabel 3 perlakuan A4 (3.33
g/kg BB) menunjukkan jumlah geliat
yang paling sedikit dari perlakuan
A3 (2.5 g/kg BB), A2 (1.67 g/kg
BB), A1 ( 0.83 g/kg BB), kontrol
positif (asam mefenamat 65 mg/kg
BB) dan kontrol negatif (akuades 20
ml/kg BB). Secara keseluruhan
jumlah geliat yang ditimbulkan pada
masing-masing perlakuan
menunjukkan penurunan dengan
semakin tingginya pemberian dosis
ekstrak, namun jika dilihat dari
respon mencit terhadap jumlah geliatsetiap 5 menit selama 1 jam terjadi
fluktuasi. Hal ini dikarenakan
penilaian nyeri dan daya tahan tubuh
masing-masing mencit berbeda-beda.
Karakteristik dari mencit yang
sedang menggeliat adalah ditandai
dengan kaki belakang menarik ke
belakang sehingga tubuh mencit
terlihat memanjang dan perut mencit
mengempis. Kondisi ini dapat
tergambarkan pada Gambar 2.
b a
Gambar 2. Kondisi Mencit Pada Saat
Geliat. a. Perut Mengempis b. Kaki
Belakang Ditarik Ke Belakang.
Hasil uji Duncan ternyata A4 (3.33
g/kg BB) menunjukkan jumlah geliat
yang paling sedikit dan beda nyata
pengaruhnya terhadap kontrol positif
(asam mefenamat 65 mg/kg BB), dan
sangat nyata terhadap A3 (2.5 g/kg
BB), A2 (1.67 g/kg BB), A1 (0.83
g/kg BB). Sehingga perlakuan A4
(3.33 g/kg BB) memiliki efek
analgetik yang lebih baik
dibandingkan dengan asam
mefenamat sebagai kontrol positif.
Pada perlakuan A3 (2.5 g/kg BB)
menunjukkan pengaruh yang tidak
nyata terhadap kontrol positif (asam
mefenamat 65 mg/kg BB), sehingga
pada dosis ini memperlihatkan
pengaruh yang sama terhadap efek
analgetik yang dihasilkan oleh asam
mefenamat. Dengan adanya jumlah
geliat yang semakin sedikit dapat
diketahui bahwa nyeri yang
dirasakan oleh mencit berkurang
sehingga ekstrak etanol daun
sambung nyawa mempunyai khasiat
sebagai analgetik.
B. Uji Daya Analgetik Kuat
Hasil pengamatan yang diperoleh
pada metode rangsang panas adalah
jumlah jilatan kaki depan atau
belakang mencit dalam waktu 1
detik. Kondisi mencit yang sedang
menjilat kakinya depan atau kaki
belakang sebagai indikasi dari
rangsang panas dapat dilihat pada
Gambar 3 di bawah ini. Jumlah
jilatan pada masing-masing
perlakuan selama 1 detik disajikan
dalam Tabel 5.
Gambar 3. Kondisi Mencit Pada Saat
Menjilat Kaki Depan
Tabel 5. Data pengamatan uji daya
analgetik kuat
Perlakuan Ulangan Total
Jilatan 1 2 3 4
Akuades
20 ml/kg BB
(K-)
9 5 5 6 22
Tramadol
6.5 mg/kg
BB
(K+)
6 4 6 4 20
0.83 g/kg BB
(B1) 5 4 6 4 19
1.67 g/kg BB
(B2) 4 4 10 2 20
2.5 g/kg BB
(B3) 9 8 6 3 26
3.33 g/kg BB
(B4) 10 8 8 7 33
Dari Tabel 5 di atas
perlakuan B1 (0.83 g/kg BB) ekstrak
daun sambung nyawa mempunyaijumlah jilatan yang lebih sedikit
dibanding dengan seluruh perlakuan.
Pada dosis ini sudah terlihat
penurunan jumlah jilatan kaki jika
dibandingkan dengan jumlah jilatan
pada kontrol positif dan kontrol
negatif. Pada perlakuan B2 (1.67
g/kg BB) ekstrak daun sambung
nyawa jumlah jilatan lebih
meningkat dibanding BI (0.83 g/kg
BB), namun masih di bawah jumlah
jilatan kontrol negatif. Pada
perlakuan B3 (2.5 g/kg BB) dan
perlakuan B4 (3.33 g/kg BB) jumlah
jilatan terus meningkat jika
dibandingkan dengan seluruh
perlakuan.
Data-data yang diperoleh dari
uji daya analgetik kuat dianalisa
secara statistik, namun hasil uji F
menunjukkan bahwa tidak adanya
perbedaan yang nyata (P>0.05). Hal
ini menunjukkan bahwa ekstrak daun
sambung nyawa tidak berpotensi
sebagai analgetik kuat dikarenakan
komponen-komponen yang terdapat
pada ekstrak daun sambung nyawa
tidak berinteraksi dengan reseptor
opiat. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa ekstrak etanol daun sambung
nyawa hanya berkhasiat sebagai
analgetik lemah.
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari
penelitian ini adalah bahwa:
 Ekstrak etanol daun sambung
nyawa berkhasiat sebagai
analgetik lemah dengan dosis
optimum 3.33 g/kg BB.
 Ekstrak etanol daun sambung
nyawa tidak berkhasiat sebagai
analgetik kuat.
DAFTAR PUSTAKA
BPOM RI. 2004. Monografi Ekstrak Tumbuhan
Obat Indonesia, Volume I. Jakarta :
BPOM RI. Hlm 86-87.
DepKes RI. 1985. Cara Pembuatan Simplisia.
Jakarta : DepKes RI. Hlm 1.
. 1986. Sediaan Galenik. Jakarta :
DepKes RI. Hlm 10-16.
. 1989. Materia Medika Indonesia,
Jilid V. Jakarta : DepKes RI.
Hlm 245- 247.
. 1995. Farmakope Indonesia, Edisi IV.
Jakarta : DepKes RI Hlm 7, 1036.
Guyton, Arthur C dan Hall, John E. 1997. Buku Ajar
Fisiologi Kedokteran, Edisi IX. Alih
Bahasa. Irawati Setiawan. Jakarta : EGC.
Hlm 761.
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia,Jilid
IV. Jakarta : Badan Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan. Hlm 2127.
Mulyadi. 1989. Deteksi Asparaginase Daun Sambung
Nyawa Laporan Penelitian. Majalah
Farmasi Indonesia 15 (4).Yogyakarta :
Fakultas Farmasi UGM. Hlm 158.
Mutschler, E. 1991. Dinamika Obat, Edisi V.
Penerjemah. Dr. Mathilda B. Widianto dan
Dr Anna Setiadi Ranti. Bandung : Institut
Teknologi Bandung. Hlm 177.
Nugroho, Y. A, Wahjoedi, B, dan Chozin A. 1997.
Informasi Penelitian Farmakologi dan
Fitokimia Daun Dewa (Gynura procumbens
(Lour) Merr) Prosiding Seminar
Nasional Tumbuhan Obat Indonesia
XII. Majalah Farmasi Indonesia 15 (4).
Yogyakarta : Universitas Gajah Mada.
Hlm 158.
Ningsih, R. K. 2002. Pengaruh Infusa Daun Dewa
(Gynura procumbens (Lour)Merr)
terhadap Volume Udema Kaki Tikus Putih
Yang Diinduksi Karagenin. Majalah
Farmasi Indonesia 15 (4). Yogyakarta :
Universitas Gajah Mada. Hlm 158.
Nugroho, A. E. 2003. Efek Analgetik Infusa Daun
Sambung Nyawa Terhadap Mencit Galur
DDY. Pharmacon Vol 4. No 2. Surakarta :
Farmasi UMS Surakarta. Hlm 77- 83.
Pudjiastuti dan Hendarti, N. 1999.
Penelusuran Beberapa Tanaman Obat
Berkhasiat Sebagai Analgetik. Jakarta :
Media Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan. Hlm 20-22.
Puspitasari, I, Murwanti, R, dan Meiyanto, E. 2003.
Antiangiogenic Daun Sambung Nyawa

suppositoria ibuprofen

A comparative bioavailability study of two ibuprofen formulations after
single-dose administration in healthy volunteers
Metta Sinta Sari Wiria, Fransiscus D. Suyatna
Abstrak
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah bioavailabilitas formulasi ibuprofen suppositoria 125 mg yang diproduksi oleh PT
Kalbe Farma,Tbk. (Ibukal®
) bioekivalen dengan produk yang sama dari komparatornya (Proris®
). Parameter farmakokinetik yang dinilai
dalam studi ini ialah luas daerah di bawah kurva kadar -waktu selama 10 jam (AUC0-t
), luas daerah di bawah kurva kadar -waktu sampai
waktu tak terhingga (AUC0-inf), kadar puncak (Cmax), dan waktu untuk mencapai kadar puncak (tmax). Penelitian ini menggunakan
rancangan menyilang acak, tersamar tunggal yang mengikutsertakan 12 sukarelawan dewasa sehat. Sukarelawan dipuasakan semalam
dan keesokan harinya diberi 1 suppositoria obat uji (produk PT.Kalbe-Farma) atau 1 suppositoria obat pembanding (produk
komparatornya). Contoh darah diambil pada jam ke 0 (kontrol), 20 min; 40 min; 1; 1,5; 2; 2,5; 3; 4; 6; 8; dan 10 jam setelah pemberian
obat. Setelah 1 minggu periode washout, prosedur ini diulang dengan memberikan obat pembandingnya. Kadar obat ditentukan dengan
kromatografi cair kinerja tinggi dengan detektor ultraviolet. Pada penelitian bioavailabilitas ini, rerata (SD) AUC0-t
, AUC0-inf,Cmax dantmax
dari obat uji masing-masing adalah 28,59(3,37) µg.jam.mL-1
, 30,47(3,56) µg.jam.mL-1
,8,24(1,44)µg/mL, dan 1,33(0,44) jam. Rerata (SD)
AUC0-t
, AUC0-inf, Cmax dan tmax dari obat pembanding masing-masing adalah 28,13(8,14) µg.jam.mL-1
, 30,56(8,05) µg.jam.mL-1
,
8,27(2,88) µg/mL, dan 1,79(0,33) jam. Rasio rerata geometrik obat uji terhadap obat pembandingnya ialah 104,38% untuk AUC0-t
,
101,97% untuk AUC0-inf, dan 104,02% untuk Cmax, Nilai 90% confidence intervals(CI) nya ialah 90,38-120,54% untuk AUC0-t, 89,51-
116,16% untuk AUC0-inf, dan 85,73-126,16% untuk Cmax. Tidak ada efek samping yang dijumpai dalam penelitian ini. Dari hasil penelitian
ini disimpulkan bahwa Ibuprofen suppositoria 125 mg produksi PT. Kalbe Farma,Tbk. (Ibukal®
) bioekuivalen dengan produk yang sama
dari komparatornya (Proris®
).(Med J Indones 2007; 16:181-6)
Abstract
This study was aimed to investigate the bioequivalence of ibuprofen 125 mg suppository formulation (Ibukal®
, test formulation from PT.
Kalbe Farma, Tbk., Jakarta) and the ibuprofen suppository comparative formulation (Proris®
, from PT. Pharos Indonesia, Jakarta) in 12
healthy volunteers. The pharmacokinetic parameters used in this study were the area under the concentration-time curve from time zero to
hour 10 (AUC0-t
), the area under the concentration-time curve from time zero to infinite (AUC0-inf), the maximum concentration (Cmax), and
the time needed to reach the maximum concentration (tmax). The study was designed as a random cross-over fashion, single-blinded which
included 12 healthy adult volunteers. The volunteers were fasted overnight and in the morning they received a suppository of the test drug
(Ibukal®
) or a suppository of the comparative drug (Proris®
). Blood samples were withdrawn on hour 0 (control), 20 min; 40 min; 1; 1,5;
2; 2,5; 3; 4; 6; 8; and 10 time points after the administration of the drug. Following a wash-out period of 1 week, this procedure was
repeated using the other drug. The serum concentration of the drug was determined by means of high-performance liquid chromatography
with ultraviolet detection. The results of the study showed that, the mean (SD) of AUC0-t
, AUC0-inf, Cmax and tmax of the test drug were,
respectively, 28.59(3.37) µg.h.mL-1
, 30.47(3.56) µg.h.mL-1
, 8.24(1.44) µg/mL, and 1.33(0.44) h. The mean (SD) of AUC0-t
, AUC0-inf,Cmax
andtmaxof the comparative drug were, respectively, 28.13(8.14) µg.h.mL-1
, 30.56(8.05) µg.h.mL-1
, 8.27(2.88) µg/mL, and 1.79(0.33) h. The
geometric means ratio of the test to the comparative drug were 104.38% (CI 90%: 90.38-120.54%) for AUC0-t
, 101.97% (CI 90%: 89.51-
116.16%) for AUC0-inf, and 104.02% (CI 90%: 85.73-126.16%) for Cmax. There was no side effect of the drug detected in this study. From
the results we can conclude that the 125 mg of ibuprofen suppository of PT Kalbe Farma, Tbk. (Ibukal®
) is bioequivalent to that of the
comparative drug (Proris®
).(Med J Indones 2007; 16:181-6)
Keywords: ibuprofen suppository, high-performance liquid chromatography, bioequivalence
Departement of Pharmacology and Therapeutics, Faculty of Medicine
University of Indonesia, Jakarta, Indonesia182 Wiria and Suyatna Med J Indones
Ibuprofen (2-(4-isobutylphenyl)-propionic acid, C13H18O2 )
is a non-steroidal antiinflamatory drug. It is a racemate
of (S)-(+) dan (R)-(-) enantiomer with the ratio 1:1,
but only the S-enantiomer is active. Both enantiomers
posses the same pharmacokinetic (concentration vs.
time) profile. The analgesic and antiinflamatory effect
of the drug have been used clinically to treat post
operative pain in young adults and children with minor
side effect. The main side effect of ibuprofen is gastrointestinal tract irritation e.g., gastritis. The mechanism
of antiinflamation of ibuprofen is through the inhibition
of the prostaglandin and leukotriene biosynthesis.
Ibuprofen is rapidly absorbed after oral administration
in men, and peak plasma concentration is observed
after 1 to 2 hours. The half-life in plasma is about 2
hours. Although the rectal preparation may have some
delay in reaching the peak plasma concentration,
ibuprofen suppositories are absorbed efficiently. The
peak plasma concentration (Cmax) is about 5-20 mg/L
(oral, single dose of 200 mg) or about 12.4-30.1 mg/L
(suppository, doses of 20 mg/kg BB). The bioavailability
of suppository formulation is about 73%.
Ibuprofen is extensively bound to plasma proteins (90-
99%), penetrates slowly from plasma to synovial
spaces and may accumulate there in higher concentration. The drug is metabolized by hydroxylation
and carboxylation to form two inactive metabolites,
which are eliminated after conjugation to glucuronic
acid. The excretion of ibuprofen is rapid and complete;
more than 90% of an ingested dose is excreted in the
urine as metabolites or their conjugates, and no
ibuprofen is found in the urine.1,2,5
The bioavailability of two (or more) formulations of
the same active ingredient could differ from one to the
other; therefore bioequivalence studies become the
important part of registration dossiers. If they are
equivalent, then one may subsequently claim that the
therapeutic efficacy of both formulations is similar. It
may also mean that the beneficial and side effects of
the two drugs are identical, and hence the formulations
are interchangeable.
The aim of this study was to compare, the pharmacokinetic
profiles and to evaluate the bioequivalence of two
formulation of 125 mg ibuprofen suppositories (Ibukal®
from PT.Kalbe Farma Tbk., Jakarta and Proris®
from
PT. Pharos Indonesia, Jakarta), after single dose rectal
administration in healthy volunteers of both sexes.
METHODS
Clinical protocol
Twelve healthy subjects were recruited in this study.
They were of both sexes between 18-55 years of age
and with a normal body weight (Body Mass Index
=18-25). Physical examination and laboratory check
up (hemoblobin, hematocrite, total and differential
white cell count, creatinine, alkaline phosphatase,
Alanin Trans Aminase /ALT, total bilirubin, albumin
and total protein, and routine urinalysis) were
performed.Pregnant or nursingwomen, individualwith a
history of hypersensitive to ibuprofen or other antiinflamatory Non Steroidal Drugs (NSAIDs), and those
who had any gastrointestinal tract problem(s), were
excluded from the study.
All subjects gave written informed consent and the
protocol had been approved by Medical Research
Ethics of the Medical Faculty, University of Indonesia.
The study was conducted in accordance with the Good
Clinical Practice (GCP) standard.
The study was a single-dose, 2-way randomized crossover
design with a one week washout period between the
doses. The subjects were instructed to abstain from
taking any medication for at least 1 week before and
during the study period. The subjects were also not
permitted to consume alcohol, or beverage or food
containing xanthines, such as tea, coffee and cola, or
fruit juice.
The subjects were fasted for 10 hours prior to drug
administration. On the morning of study phase as
scheduled, the volunteers were given a single dose of
either formulation (reference or test) of ibuprofen
suppository. No food was permitted for 4 hours after
dosing. Breakfast, lunch, and dinner were given to all
the volunteers according to the time schedule. The
volunteers were instructed to stay in bed for 4 hours
after drug administration, afterwards they were
allowed to walk but were prohibited from strenuous
activity; they were under direct supervision at the
study site. Blood pressure, pulse, and adverse events,
which might occur, were monitored and recorded in
the Case Report Form (CRF).
Blood samples (approximately 5 mL) from a suitable
antecubital vein were collected into tube before (0 h)
and at 0; 20 min; 40 min; 1; 1,5; 2; 2,5; 3; 4; 6; 8, and
10 hours after dosing. Blood samples were centrifuged
at 3000 rpm for 10 min, serum were separated and
stored frozen at -200 C until assayed. Vol 16, No 3, July – September 2007 Bioavailability study of two ibuprofen formulations 183
After a washout period of 7 days, the study was repeated
in the same manner to complete the crossover design.
Formulations
The following formulations were employed: Ibukal®
125 mg suppository (Test formulation from PT. Kalbe
Farma,Tbk., batch No. 821001A, expiration date January
2008) and Proris®
125 mg suppository (Reference
formulation from PT. Pharos Indonesia, batch No.
B5L44D, expiration date November 2008).
Drug analysis
Serum samples were analyzed for ibuprofen according
to the HPLC method developed at the PT. Pharma
Metric labs laboratory, and validated following
international guideline.
To a tube of 0.5 mL serum containing ibuprofen was
added 40 µL of internal standard (mefenamic acid,
125 µg/mL); the mixture was shaken for 30s by mean
of a vortex mixer. 250 µL of 1.0 M phosphate buffer
pH 2.0 and 4.0 mL diethylether was then added and
the mixture was again vigorously shaken for 1 min.
The mixture was then centrifuged for 10 min at 3000
rpm.The supernatant was transferred to a clean glass
tube and evaporated to dryness under nitrogen stream
in a waterbath 400C. The residue was redissolved in
200 µL methanol, and vortex-mixed for 30s. The solutions
were then transferred to the auto-injector microvials.
An aliquot (20 µL) of each serum extract was injected
into a Waters Symmetry C18 analytical column, (150
mm x 4.6 mm i.d.). The compounds were eluted by
pumping the mobile phase (acetonitrile – 0.01M
potassium dihydrogen phosphate, pH 7.0 (35:65; v/v))
at a flow rate of 1.0 mL/min. The effluent was
monitored using an ultraviolet detector at 225 nm
wavelength. Under this condition, typical retention
times were 3.15 and 5.60 minutes for ibuprofen and
mefenamic acid, respectively.
Accuracy, Precision and Recovery
Accuracy, precision and recovery of quality control
serum samples were measured at the concentration of
1.5, 15.0, and 30.0 µg/mL of ibuprofen.
Stability
Stability of quality control serum samples (1.5, and
30.0 µg/mL) were subjected to 7, 14, 28 days storage,
and 2 freeze/thaw (-20 to 250C) cycles test. Subsequently,
the ibuprofen concentrations were measured and
compared to freshly prepared samples.
Pharmacokinetics and statistical analysis
The bioequivalence between the 2 formulations was assessed
by calculating individual test/reference ratio for:
1. Area under the curve (AUC) of serum concentration
until last concentration (Ct) observed (AUC0-t),
AUCt were calculated by applying the linear
trapezoid rule
2. Area under the curve (AUC) between the first
sample (pre-dosage) and infinity (AUC0-inf), AUC0-
inf were calculated by the following equation:
AUC0-inf = AUCt + C0-t
/ Ke; Ke = 0,693 / t½ ; t½
= 0,693 / (2,303 x slope)
3. Peak serum concentration (Cmax)
4. Time to peak serum concentration (tmax)
The mean maximum serum concentration and the
mean time to peak serum concentration obtain
directly from observed data.
The AUC and Cmax data for the 2 formulations were
analyzed by ANOVA using Equiv Test®
versi 2.0
programme (Statistical Solution Ltd., Saugus. MA,
USA) to establish whether the 90% CI of the ratios
was within 80-125% interval (for AUC) and 70-143%
interval for Cmax, indicating bioequivalence as proposed
by US Food and Drug Administration.
Parametric and non parametric analyses of lntransformed arithmetic means and individual tmax
difference between the test and reference formulations
were also performed.
RESULTS
The volunteer involved in the study had the following
characteristic (expressed as mean ± SD (range)): age:
20.0±5.0 years old, (19-36) years old, height:
164.8±6.6 cm (150-176 cm), body weight: 61.2±7.1
kg (51-75 kg).
The HPLC chromatograms of the sample is shown in
Figure 1, in which the retention times of ibuprofen and
mefenamic acid are 3.15 and 5.60 minutes, respectively.
The lower limit of quantification (LOQ) of our method
was 0.5 µg/mL. Ibuprofen concentrations were
quantified using linear regression of area under the
curve (AUC) ratios (Ibuprofen/IS) versus concentration.
The calibration curves were linear over the concentrations range of 0.5 to 40.0 µg/mL. Table 1 shows the
precision, accuracy, recovery and stability data for QCs.184 Wiria and Suyatna Med J Indones
Figure 1. The HPLC chromatogram of serum sample after suppository administration of ibuprofen 125 mg suppository formulation in
healthy volunteer
Table 1. The precision, accuracy, recovery, and stability data for ibuprofen from the pre-study validation in human serum
Intra-day validation
Nominal concentration 1.5 15.0 30.0
Precision (%) 7.94 6.58 7.95
Accuracy (%) 15.73 9.24 5.52
Inter-day validation
Nominal concentration 1.5 15.0 30.0
Precision (%) 8.06 4.85 6.64
Accuracy (%) 7.78 2.74 3.78
Recovery data
Nominal concentration 1.5 15.0 30.0
Range (%) 114.5-118.4 103.1-104.7 104.3-110.7
Mean (%) 116.3 103.7 107.1
Stability on storage Concentration measured at:
Actual concentration Day-0 Day-7 Day-14 Day-28
1.5 (µg/mL) 1.67(11.33) 1.43 (6.89) 1.59 (5.78) 1.45(6.67)
30.0 (µg/mL) 30.71(2.49) 28.79(5.38) 29.28(2.40) 30.96(11.41)
Freeze/thaw cycle Cycle-1 Cycle-2 Cycle-3
1.5 (µg/mL) 1.67(11.33) 1.43 (6.89) 1.60 (6.44)
30.0 (µg/mL) 30.71(2.49) 28.79(5.38) 31.12(3.74)
Ibuprofen was found to be well tolerated and no
significant adverse reaction was encountered during
the trial.
The ibuprofen serum mean concentration vs. time
profile obtained after the single suppositopies administration
of each 125 mg suppository formulation is shown in
Figure 2.
The mean pharmacokinetic parameters obtained from
12 volunteers after administration of a 125 mg
suppository formulation is shown in Table 2.Vol 16, No 3, July – September 2007 Bioavailability study of two ibuprofen formulations 185
Figure 2.Ibuprofen serum mean concentration vs. time profile obtained after the single suppository administration of 125 mg of
ibuprofen suppository formulation in 12 volunteers
Table 2. Mean pharmacokinetic parameters obtained from 12 volunteers after administration of each of 125 mg ibuprofen formulation
Proris®
(Reference drug) Ibukal® (Test Drug)
Mean SD (±) Min Max Mean SD (±) Min Max
tmax (h) 1.79 0.33 1.50 2.50 1.33 0.44 1.00 2.50
tlast (h) 8.17 1.80 6.00 10.00 8.33 1.44 6.00 10.00
t1/2 (h) 1.90 0.45 1.36 2.66 1.85 0.29 1.50 2.42
Ke (1/h) 0.35 0.10 0.27 0.49 0.38 0.06 0.29 0.46
Cmax (µg/mL) 8.27 2.88 4.18 13.49 8.24 1.44 6.62 11.42
Ct (h) 0.86 0.33 0.56 1.48 0.73 0.28 0.52 1.32
AUC 0-t (µg.h/mL) 28.13 8.14 8.29 45.79 28.59 3.73 23.36 36.43
AUC 0-inf (µg.h/mL) 30.56 8.05 21.46 48.42 30.47 3.56 25.36 38.35
Table 3 shows the geometric mean of the individual
Cmax, AUC0-t
, AUC0-inf, (test/reference formulation),
the respective 90% confidence intervals (CI), and
Intrasubject CV for 12 volunteers. The calculated 90%
CI for mean AUC0-t and AUC0-inf, individual ratios
were within the 80-125%, and for Cmax were within
75-143% interval defined by the US Food and Drug
Administration(US FDA) and Indonesian FDA, thus
establishing the bioequivalence of the two formulations
There is not statistically significant difference of tmax
value between the test and the reference drug.
Table 3. Geometric mean of individual AUC0-t, AUC0-inf, and
Cmax ratios (test/reference formulation), the respective
90% confidence interval (CI) and inter-subject CV
Geometric
Mean
90% CI Intra
Subject CV%
AUC0-t 104.39 90.38 – 120.54 19.44
AUC0-inf 101.97 89.51 – 116.16 17.61
Cmax 104.02 85.73 – 126.16 26.01
0.00
3.00
6.00
9.00
12.00
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Time (hour)
Concentration mean (µg/mL)
Ibuprofen - test
Ibuprofen-reference186 Wiria and Suyatna Med J Indones
DISCUSSION
Ibuprofen has been determined in plasma or serum and
other biological fluids by several methods. The method
used in this study is a modification of that describes
previously by Rustam AM et al.
4
The assay was
performed using C18 analytical column, and mefenamic
acid as the internal standard (IS). The HPLC chromatograms of the sample gave a good resolution and
selectivity between ibuprofen and the internal standard.
From the pre-study validation data (precision, accuracy,
recovery and stability) obtained, it can be shown that
the developed method is sufficient for ibuprofen
pharmacokinetic study.
After rectal administration of the ibuprofen suppositories,
the observed ibuprofen mean peak serum concentrationin (Cmax) value were similar to those reported in
the literature (Kyllonem M. et al.).
CONCLUSION
From this study, it can be concluded that ibuprofen
125 mg suppository produce by PT. Kalbe Farma, Tbk.
(Ibukal®
) is bioequivalence to its comparative drug
(Proris®
) for both rate and the extent of absorption.
Acknowledgement
We thank the volunteers for the participation and PT.
Kalbe Farma, Tbk. for the sponsorship in this study.
REFERENCES
1. Burke A. Smyth E. FitzGerald GA. Analgesic-antipyretics
agents; Pharmacotherapy of gout. In: Brunton LL. Lazo JS.
Parker KL. editors. Goodman & Gilman’s The Pharmacological Basis of Therapeutics. 11st ed. New York: McGrawHill Medical Publishing Division: 2006. p. 698-700.
2. Kyllonem M. Olkkla KT. Seppala T. Ryhanen P. Perioperatif
pharmacokinetics of ibuprofen enantiomers after rectal
administration. Pediatric Anesthesia 2005; 15: 566-73.
3. World Medical Association declaration of Helsinki :
Ethical principles for medical research involving human
subjects. 52nd World Medical Association. General
Assembly; 2000 Oct; Edinburgh.
4. Rustam AM. Assay of ibuprofen in human plasma by
rapid and sensitive reversed-phase high performance liquid
chromatography: application to a single dose pharmacokinetic study. J.Chromatogr Sci. 1991 Jan; 29 (1): 16-20.
5. McEvoy GK. Miller J. Litvak K, editors. AHFS Drug
Information. Bethesda, MD. Amer Soc Health-System
Pharmeceut: 2003.p.1948-54.
6. Reynold JEF. Parfitt K. Parsons AV. Sweetman SC.
editors. Ibuprofen. In: Martindale: The Extra Pharmacopoeia.
31st ed. London. The Pharmaceutical Press: 1996. p.50-1.
7. Badan Pengawas Obat dan Makanan. Pedoman Uji
Bioekivalensi (Draft). Jakarta: BPOM; 8 September 2004
8. Badan Pengawas Obat dan Makanan. Pedoman Cara Uji
Klinik yang baik. Jakarta 2001.

FORMULASI DAN UJI KLINIK GEL ANTI JERAWAT BENZOIL PEROKSIDA-HPMC

FORMULASI DAN UJI KLINIK GEL ANTI JERAWAT BENZOIL
PEROKSIDA-HPMC
Muslim Suardi, Armenia, Anita Maryawati
Fakultas Farmasi FMIPA UNAND
ABSTRACT
Benzoyl peroxide gels at concentration of 2.5% were formulated using variable
Hydroxy Propyl Methyl Cellulose (HPMC) concentrations such as 3, 3.5 and 4%.
Propylene glycol and methyl paraben were used as moisturizer and preservative,
respectively. Characterization of gel formulations were included of organoleptic,
homogeniety, the concentration of benzoyl peroxide in gel, pH, viscocity and nature of
stream, gel spreadness and penetration. The gel formula countaining 3.5% HPMC
representing the best one. Clinical trial was performed to the best gel using a randomized
double blind methode. Results showed that the benzoyl peroxide gel decreased the acne
lesion better compared to BZ gel 2.5%®
 Batch No CNS 61 gel and placebo as well (P <
0.01).
PENDAHULUAN
Salah satu penyakit kulit yang
merisaukan remaja dan dewasa adalah
jerawat, karena dapat mengurangi
kepercayaaan diri seseorang (1). Jerawat
adalah penyakit kulit yang terjadi akibat
peradangan menahun kelenjar
polisebasea yang ditandai dengan adanya
komedo, papul, pustul, nodus, dan kista
pada tempat predileksi. Jerawat
merupakan kelainan kulit yang bersifat
umum, menyerang hampir pada semua
remaja yang berusia16-19 tahun, bahkan
dapat berlanjut hingga usia 30 tahun (2).
Di pasaran sediaan anti jerawat telah
banyak beredar baik dalam bentuk gel,
krim dan losio tetapi dari jenis sediaan
tersebut sediaan bentuk gel lebih banyak
dipilih.
 Gel merupakan sistem semi padat
yang terdiri dari suspensi partikel
anorganik kecil atau molekul organik
besar terpenetrasi oleh suatu cairan (3).
Sediaan dalam bentuk gel lebih banyak
digunakan karena rasa dingin di kulit,
mudah mengering membentuk lapisan
film sehingga mudah dicuci (4). Bahan
pembentuk gel yang biasa digunakan
adalah turunan selulosa seperti metil
selulosa dan hidroksi propil metil
selulosa. Hidroksi propil metil selulosa
dapat menghasilkan gel yang netral,
jernih, tidak berwarna dan tidak berasa,
stabil pada pH 3 hingga 11 dan punya
resistensi yang baik terhadap serangan
mikroba serta memberikan kekuatan film
yang baik bila mengering pada kulit
(5,6,7).
 Benzoil peroksida adalah salah
satu zat yang dapat digunakan untuk
menangani jerawat (8), dapat
mengurangi jumLah Propionibacterium
acnes yang merupakan bakteri anaerob
penyebab infeksi jerawat (9). Zat ini
umumnya digunakan untuk “acne
vulgaris”, aman untuk anak-anak,
dewasa dan ibu hamil (8,10). Zat ini telah tersedia dalam bentuk krim, gel,
losio, dan pencuci muka, biasanya
digunakan pada konsentrasi 2,5; 5 dan
10% (9,10). Benzoil peroksida dapat
digunakan tunggal maupun dalam
bentuk kombinasi (11,12).
 Gel benzoil peroksida telah
banyak beredar di pasaran, HPMC
(Hydroxy Propyl Methyl Celullose) telah
digunakan sebagai basis gel tetapi
konsentrasi yang digunakan belum
diketahui. Untuk itu diadakan penelitian
ini, yang diharapkan dapat
memformulasi gel benzoil peroksida
dengan pembawa HPMC yang teruji
secara klinik efektif dapat menurunkan
nilai keparahan lesi jerawat.
BAHAN DAN METODE
 Alat yang digunakan dalam
penelitian ini antara lain adalah: pH
meter E-520, piknometer, sel difusi
Franz tipe vertikal, spektrofotometer UV
(Shimadzu), kulit mencit, viskometer
Stormer serial 79081, viskometer
Hoeppler.
 Bahan yang digunakan: benzoil
peroksida, HPMC (Hydroxy Propyl
Methyl Cellulose), propilenglikol, metil
paraben, aquadest, larutan dapar pH 4
dan pH 7, sediaan gel benzoil peroksida
yang beredar di pasaran (BZ 2,5%®
 No
Batch CNS 61), larutan besi (III)
klorida, natrium klorida fisiologis,
aseton, asetonitril, asam klorida,
kloroform, etanol, eter, natrium
hidroksida, gliserin.
Tabel 1. Rancangan formula gel benzoil
peroksida dengan basis HPMC.
Formulasi gel benzoil peroksida
 Air suling sebanyak 20 kali berat
HPMC dipanaskan hingga mendidih,
kemudian diangkat dan HPMC
dikembangkan didalamnya selama 15
menit, setelah kembang ditambahkan
metil paraben yang telah dilarutkan
dalam etanol (1 dalam 5). Benzoil
peroksida digerus di dalam lumpang
hingga halus, lalu ditambahkan
propilenglikol sedikit demi sedikit
sambil terus digerus sampai homogen,
lalu dipindahkan ke dalam beker gelas
yang berisi basis, terakhir dicukupkan
dengan air suling dan diaduk hingga
homogen.
Evaluasi gel benzoil peroksida hasil
formulasi
 Pemeriksaan organoleptis (22),
meliputi bentuk, warna dan bau yang
diamati secara visual.
 Pemeriksaan homogenitas (13)
dilakukan dengan cara mengoleskan 0,1
gram sediaan pada kaca transparan.
Sediaan uji harus menunjukkan susunan
yang homogen.
 Pemeriksaan kadar benzoil
peroksida (22) dalam sediaan dilakukan
secara spektrofotometri. Penentuan
panjang gelombang serapan maksimum
bennzoil peroksida di dalam asetonitril
Nama Zat
(gram)
FAM1 FAM2 FAM3
Benzoil
peroksida
2,5 2,5 2,5
HPMC 3,0 3,5 4,0
Propilenglikol 15 15 15
Metil paraben 0,18 0,18 0,18
Air suling
sampai
100 100 100 Benzoil peroksida ditimbang seksama 25
mg dan dilarutkan dalam 25 mL
asetonitril (larutan induk). Dari larutan
induk dibuat pengenceran hingga kadar
2 µg/mL. Kemudian panjang gelombang
serapan maksimumnya diukur
menggunakan spektrofotometer UV.
 Kurva kalibrasi dibuat dengan
mengukur serapan beberapa larutan
standar benzoil peroksida dalam
asetonitril dengan konsentrasi masingmasing 2; 3; 4; 5 dan 6 µg/mL. Serapan
larutan diukur menggunakan
spektrofotometer UV pada panjang
gelombang serapan maksimum. Kurva
kalibrasinya dibuat dan persamaan
regresinya dihitung.
 Kadar benzoil peroksida dalam
sediaan ditentukan dengan cara berikut.
Satu gram sediaan yang setara dengan 25
mg benzoil peroksida ditambahkan ke
dalam larutan asetonitril hingga 25 mL.
Kemudian pengenceran dibuat hingga
didapatkan konsentrasi benzoil
peroksida dalam gel sebesar 5 µg/mL.
Kemudian serapannya diukur
menggunakan spektrofotometer UV
pada panjang gelombang serapan
maksimum. Kadar benzoil peroksida
dapat dihitung menggunakan kurva
kalibrasi.
Pemeriksaan pH (22,25)
 Alat pH meter dikalibrasi
menggunakan larutan dapar pH 7 dan pH
4. Satu gram sediaan yang akan
diperiksa diencerkan dengan air suling
hingga 10 mL. Elektroda pH meter
dicelupkan ke dalam larutan yang
diperiksa, jarum pH meter dibiarkan
bergerak sampai menunjukkan posisi
tetap, pH yang ditunjukkan jarum pH
meter dicatat.
Penentuan viskositas dan sifat alir
(23,25)
Sebelum viskositas sediaan
ditentukan, bobot jenis dan viskositas
gliserin serta konstanta alat ditentukan
terlebih dahulu. Bobot jenis gliserin
ditentukan menggunakan piknometer.
Bobot piknometer kosong (Wo), bobot
piknometer + air ditimbang (Wa), dan
bobot piknometer + gliserin (Wg),
masing-masing ditimbang.
Bobot jenis gliserin =
Viskositas gliserin ditentukan
menggunakan viskometer Hoppler. Alat
diletakkan pada posisi vertikal dengan
memeriksa water pass. Tabung
viskometer diisi dengan gliserin sampai
penuh kemudian bola besi alloy nikel
berdiameter 15,25 mm dimasukkan
dengan hati-hati. Penutup viskometer
dipasang sedemikian rupa sehingga tidak
terdapat rongga udara. Tabung diputar
180o
 sehingga bagian atas di bawah,
kemudian waktu yang dibutuhkan untuk
turun dari M1 sampai M2 dicatat (n=3).
Viskositas dihitung menggunakan
persamaan :
η = k (ρ1 – ρ2) t
η = viskositas gliserin (poise)
k = konstanta bola besi alloy nikel
berdiameter 15,25 mm
(mPa.cm3
/g.detik)
ρ1 = bobot jenis bola besi alloy nikel
berdiameter 15,25 mm (g/cm3
)
ρ2 = bobot jenis gliserin (g/cm3
)
t = waktu yang dibutuhkan bola
menempuh jarak dari M1-M2 (detik)
Konstanta alat (Kv) viskometer
Stormer ditentukan menggunakan
gliserin. Gelas piala 250 mL diisi dengan
Wg - Wo
(Wa – Wo)/ρ airgliserin sebanyak 150 mL, kemudian
alas bawah dinaikkan hingga bob tepat
berada di tengah gelas piala dan
terbenam dalam gliserin. Skala diatur
hingga menunjukkan angka nol dan
beban tertentu diberikan, kunci pengatur
putaran dilepaskan hingga beban turun
dan menyebabkan bob berputar, waktu
yang diperlukan untuk bob berputar 100
kali dicatat, yaitu tepat saat jarum
kembali menunjukkan angka nol.
Dengan menambah dan mengurangi
beban sedikit demi sedikit maka
pengukuran pada beberapa kecepatan
geser akan didapat.
RPM = 100/t x 60
Konstanta alat (Kv) viskometer Stormer
ditentukan dengan rumus :
W
Kv = η x
RPM
RPM = Rotasi Per Menit (menit-1)
η = viskositas (poise)
W = beban (gram)
 Viskositas dan sifat aliran sediaan
gel benzoil peroksida hasil formulasi
ditentukan dengan cara berikut. Gelas
piala 250 mL diisi dengan sediaan gel
benzoil peroksida hasil formulasi
sebanyak 150 mL, kemudian alas bawah
dinaikkan hingga bob tepat berada di
tengah gelas piala dan terbenam dalam
gliserin. Skala diatur hingga
menunjukkan angka nol dan beban
tertentu diberikan, kunci pengatur
putaran dilepaskan hingga beban turun
dan menyebabkan bob berputar, waktu
yang diperlukan untuk bob berputar 100
kali dicatat, yaitu tepat saat jarum
kembali menunjukkan angka nol.
Dengan menambah dan mengurangi
beban sedikit demi sedikit maka
pengukuran pada beberapa kecepatan
geser akan didapat. Grafik antara RPM
dan beban yang diberikan dibuat
sehingga diperoleh gambaran sifat aliran
sediaan
W
η = Kv x
RPM
RPM = Rotasi Per Menit (menit-1)
η = viskositas (poise)
W = beban (gram)
 Uji daya menyebar (23)
ditentukan dengan cara berikut.
Gel benzoil peroksida hasil formulasi
sebanyak 0,5 gram diletakkan dengan
hati-hati di atas kertas grafik yang
dilapisi plastik transparan, dibiarkan
sesaat (15 detik) dan luas daerah yang
diberikan oleh sediaan dihitung
kemudian tutup lagi dengan plastik yang
diberi beban tertentu masing-masing 1, 2
dan 5 g dan dibiarkan selama 60 detik,
pertambahan luas yang diberikan oleh
sediaan dapat dihitung.
Uji daya penetrasi (18,25)
Penentuan panjang gelombang
serapan maksimum benzoil peroksida
dalam larutan natrium klorida 0,9%. 25
mg benzoil peroksida dilarutkan dalam
asetonitril sampai 25 mL. Larutan di atas
diambil 7,5 mL dan diencerkan dengan
larutan narium klorida 0,9% sampai 25
mL sebagai larutan induk. Dari larutan
induk ini dibuat pengenceran dengan
natrium klorida 0,9% hingga didapatkan
kadar 10 µg/mL. Spektrum ditentukan
dengan menggunakan spektrofotometer
UV sehingga panjang gelombang
serapan maksimum didapatkan yaitu 223
nm. Sebagai blanko digunakan larutan
natrium klorida 0,9%.
 Pembuatan kurva kalibrasi
benzoil peroksida dalam larutan natrium
klorida 0,9%. Kurva kalibrasi dan persamaan regresi dibuat dari data
serapan pada panjang gelombang
serapan maksimum. Larutan benzoil
peroksida dibuat dengan konsentrasi 3,
6, 9 dan 12 µg/mL. Dalam larutan
natrium klorida 0,9% serapan diukur
dengan spektrofotometer UV pada
panjang gelombang serapan maksimum.
Untuk blanko digunakan larutan natrium
klorida 0,9%.
Penyiapan membran kulit mencit
Untuk membran difusi digunakan
kulit mencit yang berumur ± 2 bulan.
Segera setelah mencit dikorbankan, kulit
mencit diambil dengan jalan
mengelupaskan kulitnya yang sudah
digunting pada bagian sekitar ekor
sampai kepalanya dengan menggunakan
pinset. Kemudian bulu mencit dibuang
dengan cara digunting sampai bulubulunya pendek dan dilanjutkan dengan
pencukuran secara hati-hati. Kulit
mencit yang telah dibuang bulunya
dibersihkan dengan menggunakan
natrium klorida 0,9% untuk melepaskan
sisa jaringan yang melekat. Kulit yang
dibersihkan disimpan dalam lemari es
untuk mencegah terjadinya kerusakan.
Uji penetrasi gel benzoil peroksida
Membran diletakkan pada bagian
mulut donor kompartemen sel difusi
Franz yang telah diisi cairan penerima
larutan natrium klorida 0,9% sebanyak
115 mL. Membran tersebut diletakkan
hati-hati dan diusahakan tidak terdapat
gelembung udara yang terkurung di
bawah membran. Sediaan sebanyak 500
mg dioleskan sambil diratakan di atas
membran dengan menggunakan sudip.
Sel difusi Franz tipe vertikal diletakkan
dalam penangas air bersuhu 37oC ± 1oC.
Pengaduk magnetik dijalankan dan
dibiarkan berputar pada skala tertentu.
Pengambilan cuplikan dilakukan dalam
selang waktu 5; 15; 30; 45; 60; 75; 90;
105; 120; 135; 150; 165; 180; 195; 210;
225 dan 240 menit. Volume cuplikan
diambil sebanyak 5 mL dan setiap
cuplikan yang diambil diganti dengan
larutan natrium klorida 0,9% dengan
volume dan suhu yang sama. Kadar
cuplikan ditentukan dengan
menggunakan spektrofotometer UV
pada panjang gelombang serapan
maksimum dan konsentrasi benzoil
peroksida diperoleh dari kurva kalibrasi
yang telah dibuat. Pengujian dilakukan
juga terhadap basis gel yang digunakan
sebagai blanko.
Uji Klinik Gel Anti Jerawat Benzoil
Peroksida
 Gel benzoil peroksida yang telah
diformulasi dengan memvariasikan
konsentrasi HPMC sebagai basis
dievalusi, dari hasil evalusi tersebut
tarnyata formula AM2 (HPMC 3,5%)
merupakan formula yang paling baik
yang kemudian digunakan untuk uji
klinik anti jerawat.
Pemilihan Relawan (26)
Wanita atau pria berjerawat usia
18 sampai 24 tahun yang bersedia
sebagai relawan uji keparahan lesi
jerawat. Relawan tidak hipersensitif
terhadap benzoil peroksida.Hal ini dapat
diketahui melalui uji hipersensitifitas
dengan cara uji hipersensitifitas
preventif terbuka yaitu dengan cara:
Sebanyak 0,1-0,2 gram sediaan uji
dioleskan selama 24 jam di kulit bagian
belakang telinga, reaksi hipersensitif
yang timbul berupa hiperemia, eritema,
pruritus diamati. Relawan yang
digunakan adalah yang tidak
memberikan reaksi hipersensitif
terhadap benzoil peroksida (1).  Relawan tidak memakai produk
anti jerawat lain selama masa uji
keparahan lesi jerawat.
 Uji keparahan lesi jerawat
dilakukan secara random dengan metode
double blind (26).
 Setiap relawan hanya
menggunakan satu jenis obat yang
diperoleh secara acak, penguji dan
relawan sama-sama tidak mengetahui
obat yang dipakai.
 Pengujian efek anti jerawat
sediaan adalah sebagai berikut:
3 kelompok relawan uji yang masingmasing terdiri dari 5 orang, kelompok 1
diolesi plasebo (basis gel), kelompok 2
diolesi gel benzoil peroksida-HPMC
hasil formulasi, kelompok 3 diolesi
dengan gel benzoil peroksida yang
beredar di pasaran (BZ 2,5%®
). Gel
dipakai 2 kali sehari selama 7 hari yakni
pada pagi hari pukul 05.30 dan malam
hari pukul 21.00 tiap kali pemakaian
dibiarkan selama 1 jam lalu dicuci.
Perubahan lesi jerawat diamati pada hari
ke-0, ke-3, ke-5 dan ke-7 berupa jumlah
dan keparahan lesi jerawat pada daerah
uji yang masing-masing diberi point: 4
untuk nodul, 3 untuk postul, 2 untuk
papul, 1 untuk kering memerah, dan 0
untuk kering menghitam. Data yang
diperoleh dianalisis dengan Anova dua
arah.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Hasil Formulasi dan Evaluasi Sifat
Fisikokimia Formula
 Benzoil peroksida dapat
diformulasi dalam bentuk gel
menggunakan HPMC sebagai basis gel
dengan variasi dari konsentrasi masingmasing 3; 3,5 dan 4%. Hasil formulasi
dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Hasil formulasi gel
benzoil peroksida
 Hasil pemeriksaan organoleptis
gel benzoil peroksida pada ketiga
formula yaitu berbentuk setengah padat,
berwarna putih dan berbau khas semua
parameter ini stabil selama 6 minggu
penyimpanan.
 Hasil pemeriksaan homogenitas
gel benzoil peroksida menunjukkan
bahwa gel (AM1, AM2 dan AM3) tetap
homogen selama 6 minggu
penyimpanan.
 Hasil pemeriksaan kadar benzoil
peroksida dalam sediaan dapat dilihat
pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil pemeriksaan kadar
benzoil peroksida dalam sediaan
Sediaan Kadar (%)
Formula AM1 98,5 ± 0,58
Formula AM2 98,0 ± 0,52
Formula AM3 94,4 ± 0,34
BZ 2,5%® 96,9 ± 0,37
 Hasil pemeriksaan pH gel benzoil
peroksida menunjukkan bahwa pH
sediaan tidak stabil selama 6 minggu
penyimpanan (P < 0,01).
Tabel 3. Nilai pH rata-rata dan hasil
uji lanjut Duncan Minggu ke
Sediaan I II III IV V VI
FAM1
4,6
±0,1
4,7
±0,1
4,6
±0,1
4,8
±0,0
4,7
±0,0
4,6
± 0,0
FAM2
4,7
±0,1
4,6
±0,0
4,5
±0,0
4,6
±0,0
4,6
±0,0
4,6
±0,1
FAM3
4,6±0,
1
4,6 ±
0,0
4,5
± 0,0
4,6±
0,05
4,6
±0,0
4,6
±0,0
Ratarata
4,6 a
± 0,1
4,6 b
± 0,1
4,5 c
± 0,1
4,7d
± 0,1
4,6e
±0,1
4,6c
±0,0
- a pada rata-rata jenis sediaan =
setiap jenis sediaan memberikan
pengaruh yang sama terhadap pH
sediaan.
- a, b, c, d, e pada rata-rata minggu
= urutan minggu yang paling
mempengaruhi perubahan pH.
 Hasil penentuan sifat alir gel
benzoil peroksida memperlihatkan sifat
aliran plastis. Sedangkan pada
pemeriksaan viskositas sediaan, semua
formula memperlihatkan terjadinya
peningkatan viskositas selama 6 minggu
penyimpanan.
40
50
60
70
80
360
400
440
480
520
560
Beban (gram)
RPM
Gambar 2. Reogram FAM1 sebelum
penyimpanan
3 0
3 5
4 0
4 5
5 0
5 5
6 0
6 5
360
400
440
480
520
560
B e ban (g r am )
RPM
Gambar 3. Reogram FAM1 3 minggu
penyimpanan
3 0
3 2
3 4
3 6
3 8
4 0
4 2
4 4
360
400
440
480
520
560
B e b a n ( g r a m )
RPM
Gambar 4. Reogram FAM1 6 minggu
penyimpanan
10
15
20
25
30
35
360
400
440
480
520
560
Beban (gram)
RPM Gambar 5. Reogram FAM2 sebelum
penyimpanan
Gambar 6. Reogram FAM2 3 minggu
penyimpanan
1 0
1 2
1 4
1 6
1 8
2 0
2 2
2 4
2 6
2 8
3 0
360
400
440
480
520
560
B e ban (g r am )
RPM
Gambar 7. Reogram FAM2 6 minggu
penyimpanan
Gambar 8. Reogram FAM3 sebelum
penyimpanan
4
6
8
10
12
380
420
460
500
540
beban (gram)
RPM
Gambar 9. Reogram FAM3 3 minggu
penyimpanan
10
15
20
25
30
35
360
400
440
480
520
560
Beban (gram)
RPM
6
8
10
12
14
16
18
360
400
440
480
520
560
beban (gram)
RPM 4
5
6
7
8
9
10
11
12
380
420
460
500
540
beban (gram)
RPM
Gambar 10. Reogram FAM3 6
minggu penyimpanan
 Hasil uji daya menyebar gel
benzoil peroksida menunjukkan bahwa
Jenis formula (AM1, AM2 dan AM3)
mempengaruhi pertambahan luas
penyebaran secara bermakna (p < 0,05)
dan variasi beban yang diberikan pada
setiap formula juga memberikan
pengaruh pertambahan luas penyebaran
yang sangat bermakna (p < 0,01), tetapi
tidak terjadi interaksi antara jenis
formula dan beban terhadap
pertambahan luas.
Tabel 4. Hasil uji daya menyebar
sediaan
Daya menyebar
Sediaan Beban 1 g Beban 2 g Beban 5 g
FAM1 0,33± 0,2 0,75±0,40 1,26±0,69
FAM2 0,15±0,05 0,41±0,24 0,75±0,36
FAM3 0,11±0,02 0,38±0,02 0,62±0,22
Ratarata
0,33±0,21 0,51±0,21 0,88±0,29
 Hasil penentuan daya penetrasi gel
benzoil peroksida menunjukkan bahwa
jenis formula berpengaruh terhadap daya
penetrasi gel benzoil peroksida dari
sediaan (p < 0,01) dan lama pemakaian
juga mempengaruhi daya penetrasi gel
benzoil peroksida dari sediaan (p <
0,01), tetapi tidak terdapat interaksi
antara jenis formula dan lama pemakaian
terhadap daya penetrasi sediaan.
Gambar 11. Profil penetrasi benzoil
peroksida dari basis
 = AM1, r = 0,9944
 = AM2, r = 0,9938
 = AM3, r = 0,9973
 = BZ 2,5%
 r = 0,9942
Uji Klinik Gel Anti Jerawat Benzoil
Peroksida
 Jenis sediaan mempengaruhi
penurunan nilai keparahan lesi jerawat
relawan (p<0,01), selain itu lama
pemakaian juga mempengaruhi
penurunan nilai keparahan lesi jerawat
relawan (p<0,01), tetapi tidak terdapat
interaksi antara jenis sediaan dan lama
pemakaian terhadap penurunan nilai
keparahan lesi jerawat relawan.
0
2
4
6
8
10
12
14
16
0 5 10 15 20
akar waktu (menit1/2)
pelepasan ug/mlTabel 5. Hasil uji keparahan lesi
jerawat
Jenis Hari pengamatan
Sediaan ke-0 ke-3 ke-5 ke-7
BZ 2,5%® 7,4±2,1 6,0±1,6 3,6±2,3 1,4± 1,9
Formula 7,0±1,2 4,4±2,3 1,4±1,1 0,2±0,5
Plasebo 7,2±0,8 6,2±1,3 4,2±2,7 2,4±1,9
rata-rata 7,2a
±0,2 5,5b
±1 3,1c
±1,5 1,3d
±1,1
a, b pada rata-rata jenis sediaan =
urutan sediaan yang paling cepat
menurunkan nilai keparahan lesi
jerawat.
A, b, c, d pada rata-rata hari
pengamatan = urutan hari yang
paling cepat menurunkan nilai
keparahan lesi jerawat
Gambar 12. Kurva hubungan nilai
keparahan dengan lama pemkaian.
Pembahasan
Formula sediaan Benzoil peroksida
dibuat dalam bentuk gel. Hal ini
didasarkan pada beberapa pertimbangan,
diantaranya sediaan gel lebih diminati
karena mudah dicuci terutama yang
berbasis hidrofilik, tidak menimbulkan
bekas pada saat pemakaian dan
memberikan rasa yang menyejukkan (9).
Umumnya sediaan farmasi terdiri
dari zat aktif dan zat tambahan. Pada
penelitian ini digunakan benzoil
peroksida sebagai zat aktif yang efektif
membunuh bakteri Propionibacterium
acnes yaitu bakteri penyebab jerawat.
Sebagai basis digunakan HPMC karena
mengembang terbatas dalam air
sehingga merupakan bahan pembentuk
hidrogel yang baik. Hidrogel ini sangat
cocok digunakan sebagai sediaan topikal
dengan fungsi kelenjar sebaseus berlebih
yang merupakan salah satu faktor
penyebab jerawat (23). Selain itu HPMC
bersifat netral, tahan terhadap pengaruh
asam dan basa, punya pH stabil antara 3-
11, tahan terhadap serangan mikroba dan
tahan panas (24). Selain sebagai
humektan propilenglikol juga berfungsi
sebagai pelicin, mencegah terjadinya
kerak sisa gel setelah komponen lain
menguap dan sebagai emulien (10).
Sebagai pengawet digunakan metil
paraben. Penggunaan pengawet
diperlukan dalam sediaan gel karena
mempunyai kadar air sediaan yang
tinggi. Kadar air yang tinggi ini
merupakan medium yang baik bagi
pertumbuhan jasad renik (10).
Pemeriksaana bahan baku
merupakan langkah awal yang harus
dilakukan dalam memformula suatu
sediaan obat. Pemeriksaan bahan baku
benzoil peroksida, HPMC,
0
1
2
3
4
5
6
7
8
0 3 5 7 Lama pengamatan (hari)
Rata-rata nilai keparahan lesi
jerawatpropilenglikol, metil paraben meliputi
pemerian, kelarutan, sisa pemijaran,
reaksi identifikasi, bobot jenis
memenuhi persyaratan yang berlaku
dalam literatur (22,24).
Menurut Shin-Etsu Chemical
Co.Ltd Jepang, konsentrasi HPMC yang
cocok untuk sediaan gel berkisar 0,1-
0,6%. Akan tetapi pada penelitian ini
konsentrasi HPMC tersebut tidak
dipakai, karena berdasarkan hasil
orientasi HPMC dengan konsentrasi
kecil dari 3% akan menghasilkan
sediaan yang sangat encer. Sehingga
pada penelitian ini konsentrasi HPMC
yang digunakan lebih dari 3 yaitu 3, 3,5
dan 4%. Sediaan yang diperoleh dari
ketiga variasi HPMC ini akan dievaluasi
secara fisikokimia, untuk mendapatkan 1
formula terbaik yang akan diuji
efektivitasnya secara klinik.
 Parameter fisikokimia yang
diperiksa pada penelitian ini pada
umumnya bertujuan untuk melihat
kestabilan sediaan selama 6 minggu
penyimpanan. Pemeriksaan ini meliputi,
Pemeriksaan organoleptis bertujuan
untuk melihat perubahan bentuk, warna,
dan bau. Pemeriksaan homogenitas
bertujuan untuk melihat penyebaran zat
aktif dalam sediaan. Pemeriksaan kadar
zat aktif dalam sediaan bertujuan untuk
melihat kadar zat aktif dalam sediaan
gel. Pemeriksaan pH untuk melihat
perubahan pH dan apakah aman untuk
pemakaian pada kulit. Pemeriksaan sifat
alir dan viskositas bertujuan untuk
melihat bentuk aliran dan kestabilan
viskositas selama penyimpanan. Uji
daya menyebar untuk melihat
kemampuan menyebar sediaan di atas
permukaan kulit saat pemakaian.
 Pada pemeriksaan kadar
benzoil peroksida dalam sediaan,
penambahan konsentrasi HPMC
menyebabkan penurunan kadar benzoil
peroksida dalam sediaan. Hal ini
mungkin terjadi karena semakin besar
konsentrasi HPMC maka semakin kental
sediaan dan menyebabkan semakin
susah pelepasan zat aktif dari pembawa.
Tetapi kadar ini telah memenuhi
persyaratan. Kadar benzoil peroksida
dalam dasar gel yang sesuai
mengandung tidak kurang dari 90% dan
tidak lebih dari 125% C14H10O4 dari
jumLah yang tertera pada etiket (22).
 Pemeriksaan organoleptis
sediaan dilakukan selama 6 minggu
penyimpanan. Semua formula gel yang
diperoleh berbentuk semi padat, berbau
khas dan berwarna putih. Warna putih
ini disebabkan karena benzoil peroksida
agak sukar larut dalam air (22).
Sehingga tidak tercampur dalam bentuk
terlarut tetapi dalam bentuk partikel
halus terbagi rata dalam sediaan gel.
Warna yang dihasilkan memang tidak
transparan seperti sediaan gel biasa tapi
menurut Formularium Kosmetika
Indonesia warna sediaan gel tidak harus
transparan tapi masih diperbolehkan
hingga buram opak (10).
Berdasarkan pemeriksaan pH
dari masing-masing formula diperoleh
pH sedikit asam, yaitu antara 4,55-4,75.
Uji stabilitas pH memang menunjukkan
bahwa pH tidak stabil selama 6 minggu
penyimpanan (p < 0,05), namun harga
pH ini masih berada dalam range pH
normal kulit yaitu 4-6 (27).
Pada pemeriksaan viskositas dan
sifat alir sediaan menunjukkan bahwa
terjadi peningkatan viskositas pada
semua formula selama 6 minggu
penyimpanan. Hal ini mungkin
disebabkan oleh sifat hidrogel yang akan
menjadi pekat pada waktu didiamkan
(23). Selain itu mungkin telah terjadi
penguapan air selama penyimpanan
sehingga masa menjadi lebih kental. Sifat alir yang diberikan oleh
sediaan formula AM1 dan AM2 adalah
plastis, yaitu kurva naik dan turun
berimpit membentuk suatu garis yang
melengkung dan kurva tersebut tidak
memotong sumbu nol (23). Berbeda
halnya dengan formula AM3, yaitu
kurva yang diberikan ada yang berimpit
dan ada yang tidak berimpit. Hal ini
mungkin disebabkan karena keterbatasan
alat dalam pengukuran viskositas gel,
yang seharusnya menggunakan
viskometer Ferranti-Shirley (25) diganti
dengan viskometer Stormer yang
dimodifikasi.
Pemeriksaan daya menyebar
sediaan tidak dilakukan dengan
menggunakan alat penetrometer (23)
karena keterbatasan alat, sehingga
pemeriksaan hanya dilakukan dengan
extensiometer yang dilakukan secara
manual. Dari pemeriksaan terlihat bahwa
peningkatan konsentrasi HPMC
menyebabkan penurunan daya menyebar
sediaan. Hal ini didasarkan karena
HPMC mempunyai daya mengembang
yang tidak terbatas artinya pada
penambahan air yang cukup besar akan
berubah menjadi bentuk sol (23). Daya
menyebar ini bukan merupakan data
yang absolut karena tidak ada literatur
yang menyatakan angka yang pasti
untuk ini. Jadi data ini merupakan data
relatif.
Dari pengukuran daya penetrasi
gel didapatkan bahwa sediaan BZ 2,5%®
mempunyai daya penetrasi lebih besar
dibandingkan sediaan hasil formulasi (P
< 0,01). Ini mungkin disebabkan karena
perbedaan basis yang digunakan
sehingga kecepatan pelepasan zat
aktifpun berbeda dan mungkin juga pada
sediaan pembanding ditambahkan bahan
akseleran untuk menambah laju
penetrasinya (1). Sedangkan pada
formula hasil formulasi dari uji lanjut
Duncan menunjukkan bahwa formula
AM2 dan AM3 mempunyai daya
penetrasi yang sama. Daya penetrasi
terkecil diberikan oleh formula AM1.
Data daya penetrasi benzoil
peroksida kemudian diolah menurut
persamaan Higuchi. Dari grafik antara
jumLah zat aktif yang terpenetrasi
terhadap akar waktu memberikan garis
lurus untuk semua formula, dan harga
koefisien korelasinnya (r) lebih besar
dari 0,95. Hal ini berarti penetrasi terjadi
secara difusi pasif.
 Dari pemeriksaan sifat
fisikokimia semua formula AM1, AM2
dan AM3 didapatkan hasil yang tidak
terlalu berbeda, kecuali pada uji daya
menyebar dan uji daya penetrasi. Pada
uji daya menyebar kecepatan menyebar
sediaan AM2 tidak terlalu cepat seperti
AM1 dan tidak terlalu lambat seperti
AM3. Sedangkan pada uji daya penetrasi
benzoil peroksida, sediaan AM2
memberikan daya penetrasi terbesar
dibanding formula AM1 dan AM3.
Berdasarkan hal tersebut di atas maka
formula AM2 dipilih sebagai formula
terbaik.
Sebelum dilakukan uji klinik anti
jerawat masing-masing relawan
diberikan uji hipersensitifitas dengan
cara mengoleskan gel benzoil peroksida
di kulit telinga bagian belakang, uji
preventif terbuka ini dipilih karena
benzoil peroksida merupakan zat
pengoksidasi (10). Dari hasil uji tidak
ada relawan yang menunjukkan gejala
hipersensitif berupa hiperemia, eritema,
pruritus (10), sehingga ke-15 relawan
dapat diikutkan dalam uji klinik.
Benzoil peroksida bekerja efektif
membunuh bakteri Propionibacterium
acnes penyebab jerawat. Benzoil
peroksida melepaskan oksigen ke dalam
kelenjar sebasea, sehingga bakteri
Propionibacterium acnes yang merupakan bakteri anaerob obligat akan
mati dengan adanya oksigen (28,29).
Dari hasil uji klinik anti jerawat
memperlihatkan bahwa jenis sediaan
mempengaruhi penurunan nilai
keparahan lesi jerawat (p<0,01).
Penurunan nilai keparahan lesi jerawat
tertinggi diberikan oleh formula AM2
diikuti BZ 2,5%® dan plasebo.
Walaupun daya penetrasi BZ 2,5%®
lebih besar dibanding formula AM2
ternyata formula AM2 pada penelitian
ini lebih efektif menurunkan nilai
keparahan lesi jerawat. Ini mungkin
disebabkan penetrasi AM2 lebih banyak
terjadi melalui kelenjar terutama kelenjar
sebasea (1,30) dibanding BZ 2,5%®
,
sehingga kadar benzoil peroksida yang
bekerja untuk membunuh bakteri
penyebab jerawat yang terdapat di
kelenjar sebasea lebih banyak dan
bakteri yang matipun lebih banyak.
Berdasarkan hasil pengukuran kadar
benzoil peroksida yang terdapat dalam
sediaan juga didapatkan bahwa kadar
benzoil peroksida pada formula BZ
2,5%® lebih kecil dibanding formula
AM2. Hal ini mungkin disebabkan
karena faktor penyimpanan dan
pendistribusian sediaan yang dapat
menurunkan kualitas sediaan. Plasebo
(sediaan tanpa zat aktif) juga dapat
menurunkan nilai keparahan lesi jerawat.
Hal ini mungkin disebabkan karena kerja
sugestif (2). Selain itu juga karena
jerawat bukan merupakan penyakit yang
permanen sehingga tanpa penggunaan
zat anti jerawatpun, ia punya
kemungkinan untuk sembuh sendiri.
KESIMPULAN
 Pada penelitian ini gel benzoil
peroksida dengan basis HPMC 3,5%
merupakan formula gel benzoil
peroksida-HPMC yang terbaik dan
memberikan penurunan keparahan lesi
jerawat yang lebih baik, dibanding
dengan sediaan benzoil peroksida 2,5%
yang beredar di pasaran (BZ 2,5%)
(p<0,01).
DAFTAR PUSTAKA
1. Lachman, L., H.A, Lieberman. &
J.L, Kanig, Teori dan Praktek
Industri Farmasi, Edisi II,
diterjemahkan oleh Siti Suyatmi,
UI Press, Jakarta, 1994.
2. Mutschler E., Dinamika Obat,
Edisi V, diterjemahkan oleh
M.B. Widianto & A.S. Ranti,
Penerbit ITB, Bandung, 1991.
3. Fakultas Kedokteran Bagian
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
UI, Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin, Jakarta, 1987.
4. Mansjoer, Arif., Kapita Selekta
Kedokteran, Edisi III jilid II,
Media Aesculapius, FKUI,
Jakarta, 2000
5. Henny, Prinsip Penanganan
Jerawat, Medikal Kalbe Farma,
Jakarta, 2002.
6. Rassner., U. Steinert, Buku Ajar
dan Atlas Dermatologi,
diterjemahkan oleh Toni
Harijanto, EGG, Jakarta, 1992.
7. Woodarb, Iris, Adolecent Acne:
A Stepwise Approach to
Management, Adv. Pract. Nurs.
J., vol 2, No 2, 2002.